12/30/2007

Fatwa Atraksi Debus

Oleh : Syekh Abdul Aziz bin BaazMufti ‘Aam Kerajaan Saudi Arabia-rahimahullah rahmatan wasi’ah-

Pertanyaan:

Seseorang bertanya : Di sebagian tempat di Yaman kami temui orang-orang yang disebut As-Saadah. Mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang menafikan agama seperti meramal dan lain-lain. Mereka mengaku dapat mengobati orang-orang yang sakitnya kronis, dan sewaktu-waktu memperlihatkan atraksi menusuk-nusuk tubuh mereka dengan pisau atau memotong-motong lidah mereka secara berulang-ulang tanpa hal tersebut membuat mereka menderita. Di antara mereka ada yang shalat, namun sebagiannya lagi tidak shalat. Mereka menikahi orang-orang dari selain sanak keluarga mereka, namun tidak menikahkan sanak keluarga mereka dengan orang lain. Dan ketika berdoa bagi orang yang sakit, mereka mengucapkan, “Ya Allah, ya Fulan (nama salah satu leluhur mereka)”.

Para manusia mengagungkan mereka, menganggap mereka sebagai paranormal dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Bahkan mereka disebut sebagai “Lelakinya Allah”. Dan sekarang masyarakat terpecah dalam permasalahan ini. Sebagian menolak mereka, mereka adalah golongan para pemuda dan sebagian penuntu ilmu. Sebagian lagi senantiasa berpegang dengan mereka, mereka ini adalah golongan tua dan selain penuntut ilmu. Ini membutuhkan kesediaanmu untuk menjelaskan hakikat pemasalahan ini.

Jawaban:

Orang-orang tersebut dan juga yang seperti mereka merupakan sekelompok sufi yang memiliki amalan-aman mungkar serta perbuatan-perbuatan yang batil. Mereka juga merupakan sekelompok peramal yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) dan bertanya kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR. Muslim 11/273, Ahmad 33/457, 47/199)
Ini karena pengakuan mereka mengetahui perkara gaib, pelayanan dan penyembahan mereka kepada para jin, serta penipuan mereka terhadap manusia dengan perbuatan sihir yang mereka lakukan, dimana Allah berfirman dalam kisah Nabi Musa dan Fir’aun :

قَالَ أَلْقُوا فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena’jubkan). (Al-A’raf:116).

Maka tidak boleh mendatangi mereka, bertanya kepada mereka karena hadits mulia dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فِيْمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Hakim 1/18, Thobroni Al-Kabir 8/403, AlAusath 3/470).
Adapun do’a yang mereka panjatkan kepada selain Allah serta istighotsah (meminta dihilangkannya bala) kepada selain Allah, persangkaan mereka bahwa bapak-bapak mereka serta leluhur-leluhur mereka memiliki pengaruh terhadap kejadian di dunia ini, penyembuhan mereka terhadap penyakit, atau mereka mewajibkan berdo’a bersama orang-orang yang telah mati serta orang-orang yang ghaib (dari golongan mereka), maka ini semua adalah kufur kepada Allah ‘azza wa jalla dan termasuk ke dalam syirik akbar.

Maka wajib mengingkari mereka, tidak mendatangi, bertanya serta membenarkan mereka. Hal ini karena mereka dalam amalan tersebut telah menggabungkan antara perdukunan, peramalanan dengan amalan musyrik penyembah selain Allah. Begitu pula meminta pertolongan dari selain Allah. Meminta bantuan jin, orang-orang yang telah mati, dan kepada pihak-pihak lain yang cocok bagi mereka, dan mereka mengira bahwa itu adalah bapak-bapak serta leluhur-leluhur mereka. Atau meminta bantuan dari orang-orang yang mengira mereka memiliki derajat kewalian atau karomah. Bahkan semua ini merupakan amalan klenik, perdukunan, peramalan yang munkar dalam syariat yang suci ini.

Adapun atraksi-atraksi mungkar mereka seperti menusuk-nusuk diri mereka dengan pisau atau memotong-motong lidah mereka, maka semuanya ini merupakan tipuan terhadap manusia (seperti atraksi debus, pent.) Dan kesemuanya ini merupakan jenis sihir yang haram, dimana telah ada nash-nash pengharaman serta peringatan terhadapnya dari Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya. Maka tidak selayaknya bagi orang yang berakal untuk terpikat dengan hal tersebut. Ini merupakan jenis yang yang difirmankan oleh Allah ta’ala tentang para tukang sihir Fir’aun :
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
Terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thaha : 66)

Maka mereka telah menggabungkan antara sihir dengan klenik, perdukunan, serta peramalan, antara syirik akbar, meminta bantuan dan istighotsah kepada selain Allah dengan mengaku-aku tahu tentang perkara gaib dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ini merupakan bentuk kebanyakan syirik akbar dan kekafiran yang jelas, dan juga merupakan amalan perdukunan yang telah Allah ‘azza wa jalla haramkan, dan termasuk pula mengaku tahu tentang perkara gaib yang tidak diketahui melainkan hanya Allah saja, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An-Naml : 65)

Maka wajib bagi seluruh muslim yang mengetahui perkara mereka untuk mengingkari mereka serta menjelaskan kebejatan perilaku mereka dan menjelaskan bahwa itu semua adalah kemungkaran. Dan hendaknya dia mengangkat permasalahan ini kepada pemerintah jika berada di negara Islam sampai mereka dihukum sebagai perealisasian syariat untuk mencegah kejahatan mereka dan melindungi kaum muslimin dari kebatilan serta penipuan mereka. Dan Allahlah Maha Pemilik Taufik.[1]



[1] Sumber: Hukmus Sihri wal Kahanaati wa ma Yata’allaq bihima, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, 18-21