12/09/2007

Kekuatan Kewibawaan, Kecantikan dan Pengasihan Dalam Satu Jimat


Ruqyah-online.blogspot.com-Persaingan dunia kerja di kota besar seperti Jakarta demikian besar,sehingga untuk meningkatkan rasa percaya diri dan agar mudah diterima di berbagai kalangan terkadang membuat orang lupa diri. Ia dengan sengaja atau tidak mencari pegangan dengan meminta bantuan jin.”Ya, Jimat kewibawaan adalah solusi dari sekian masalah itu”, katanya. Padahal ketidaktenangan dan kehilangan kepribadian justru menjadi tumbal sang jimat. Itulah sepenggal pengalaman Hafsari, mantan pegawai si sebuah event organizer di Jakarta. Gadis berusia 26 tahun yang segera mengakhiri masa lajangnya itu menceritakan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya:

Sebagai seorang gadis yang masih memiliki garis keturunan dengan penguasa Mataram, sangatlah wajar bila dalam kehidupan saya tdiak lepas dari dunia paranormal. Walau saya bukan seperti mereka, tetapi setidaknya cukup sering eyang yang menaganut Islam kejawen mengajak saya ke paranormal.


Kebetulan pada tahun 1999, saya bermain di tempat bulek karena ia masih kerabat dekat saya yang berprofesi sebagai paranormal. Setelah ngobrol kesana kemari, bulek Rina menawari saya sebuah jimat yang katanya untuk jaga diri. Entahlah, apa alasannya, kenapa saya yang di kasih jimat itu dan bukan saudara saya yang lain.


Bulek Rina menyodorkan sebuah bungkusan kain putih seperti kain blacu yang berbentuk segi empat seukuran jari telunjuk. Menurut bulek Rina jimat ini berisi kulit macan dan sejumlah jarum emas yang disusun sedemikian rupa. Ow…, harum sekali baunya. Di bagian depan bungkusan jimat itu terdapat tulisan berbahasa arab yang ditulis dengan tinta emas. Saya akui, saya memang tidak tahu apa artinya dan waktu itu saya juga tidak mempertanyakan kepada bulek. Sementara di bagian belakangnya di beri peniti, rupanya jimat ini harus saya pakai kemanapun saya pergi dan yang lebih penting lagi harus menempel di kulit. Tidak boleh hanya di kantongi di dompet atau disimpan dalam tas.


Waktu memberikan jimat itu bulek sempat berpesan. “Dua bulan sekali, jimat ini harus di bawa kemari untuk diperbaharui kekuatannya”, ujar bulek dengan serius. Entahlah, bagaimana susunan sejumlah jarum dan kulit macan itu sehingga saya tidak diperbolehkan membuka atau mengotak-atiknya. “kalau jimat ini rusak, jangan coba-coba untuk memasangnya sendiri. Dan bila terkena air atau tercuci, maka kamu harus segera membawanya kemari. Sebab kalau di bongkar khasiatnya akan berubah dan apa yang kamu rencanakan bisa berantakan”, kata bulek dengan panjang lebar.


Setelah menerima jimat kewibawaan itu, bulek menyuruh saya memakan sebutir asam manis yang dicampur dengan gula. Menurut bulek, setelah makan gula asam manis itu maka senyuman saya akan kelihatan manis dan berwibawa. Selain itu setiap malam jum’at kliwon saya harus datang ke rumah bulek untuk mandi kembang.


Selepas sekolah SMA saya diterima kerja di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang event organizer. Dengan tinggi badan 162 cm dan berat 48 kg, sangat membantu sekali dalam pelaksanaan tugas saya setiap hari. Terlebih saya dikaruniai kulit yang putih bersih. Orang bilang kloplah dengan dunia kerja yang saya masuki.


Tidak jarang saya mendapat tugas menjadi pagar ayu disebuah acara yang dihadiri oleh pejabat dan pengusaha besar. Nah, dalam kondisi seperti ini saya sering mendapat tugas sebagai pagar ayu atau bahkan terkadang disuruh menari tarian jawa. Entahlah, apakah itu karena jimat pemberian bulek yang selalu saya bawa ataukah memang karena aura dalam diri saya yang sedemikian kuat, saya saat itu masih belum tahu. Tapi yang jelas orang sangat terpesona dengan penampilan saya. “eh, lihat. Dia cantik banget ya”, pujian yang hanya berupa bisikan sesama mereka bukan hal yang asing lagi.


Daya pesona saya semakin kuat apabila jimat itu baru saya bawa ke bulek. Istilahnya untuk dicharge lagi, dan saya habis mandi kembang pada hari jum’at kliwon. Lalu sebelum bertugas saya makan gula asam manis, maka bisa dijamin mata para lelaki akan melotot. Seakan mereka mau menelanjangi saya. Bahkan tidak sedikit dari pejabat atau pengusaha yang membujuk saya agar mau menjadi istri simpanannya.


Anehnya, meski begitu banyak yang terpesona tapi tidak satupun diantara mereka yang mau berbuat senonoh terhadap saya. Bukan berarti semua orang itu baik perilakunya, tapi memang ada kekuatan lain yang tidak mereka ketahui yang menjaga saya. Saya sendiri tidak tahu kalau seandainya bukan mereka sendiri yang mengatakannya.


Seperti yang terjadi pada suatu malam, setelah menjadi pagar ayu disebuah acara. Ada seorang pengusaha yang mengantar saya pulang. Di tengah jalan, dia berbicara terus terang, “tadi saya sudah berniat untuk melakukan yang tidak-tidak dengan kamu. Tapi entah kenapa, badan saya menjadi lemah. Kaki dan badan saya lemas. Saya tidak bertenaga”. Ungkapan semacam ini sudah sering saya dengar dari banyak lelaki yang terpesona dengan kecantikan saya.


Terus terang, ketidak berdayaan mereka itu semakin membuat saya percaya diri dan tidak meninggalkan dunia yang saya geluti, beberapa tahun itu saya semakin menikmati dunia kerja. Klien saya pun terus meluas dan dengan mudahnya saya mencari uang. Hanya dengan kenalan dan makan bersama, uang satu juta setengah dengan mudahnya masuk kantong. Namun, saya bukan seperti perempuan murahan yang bisa diajak apa saja. Saya masih punya prinsip yang tidak boleh dilanggar.


Keberuntungan yang saya miliki ini tidak berhenti sampai di sini. Perusahaan tempat saya bekerja pun memperoleh imbasnya. Karena semahal apapun harga yang saya tawarkan kepada klien, mereka pasti mengambilnya. Ya, mereka seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Bayangkan harga untuk sebuah acara kecil-kecilan yang ditetapkan oleh kantor senilai 15 juta itu saya tawarkan kepada klien 20 – 25 juta. Anehnya, klien saya itu menerimanya begitu saja. Terlebih bila klien yang datang itu seorang laki-laki, maka lebih mudah untuk dipengaruhi. Waktu itu, saya hanya memakan dua atau tiga permen pemberian bulek yang telah di beri mantra-mantra. Selanjutnya dengan gaya diplomasi saya tawarkan kerjasama. Saat-saat berikutnya mereka bahkan menjadi klien tetap dan harganya juga tetap tinggi.


Dalam suatu kesempatan, saya lupa jadwal acara ramah tamah sebuah perkantoran. Acara yang seharusnya dilaksanakan jam 11 siang itu akhirnya molor hingga jam 3 sore. Padahal itu adalah acara makan siang. Terang saja atasan saya langsung mendapat komplien dari klien. Akhirnya saya mengaku bersalah, “ya sorry pak, saya lupa”, saya sampaikan ucapan maaf itu sambil tersenyum. Mendengar penjelasan itu, atasan saya dengan mudah menerimanya, “oke, ya sudah tapi lain kali jangan di ulangi”. Saya sempat heran kok begitu mudahnya atasan saya itu menerima permintaan maaf, padahal saya yakin seandainya keteledoran itu dilakukan orang lain, pasti dia akan mendapatkan surat peringatan.


Keberhasilan demi keberhasilan mempengaruhi klien itu akhirnya melahirkan ketergantungan baru dalam diri saya. Ya, saya sangat tergantung dengan jimat pemberian bulek. Bila saya lupa membawanya maka secara otomatis hati saya menjadi gundah. Perasaan takut akan kegagalan segera menjalar seperti yang terjadi saat menangani seorang klien. Pada awal pembicaraan semuanya berjalan lancar, “Punya anggaran berapa pak?” tanya saya dengan ramah. “Untuk acara ini kita menganggarkan seratus juta”. Jawabnya dengan tidak kalah ramahnya. “Oke. Seratus juta” saat itu kita sudah hampir mencapai kata sepakat. Hati saya juga sudah terlanjur senang. Boleh dibilang sudah sedikit menghayal karena akan dapat komisi 25 %.


Tapi saat pembicaraan berikutnya, yang mengarah pada penadatanganan kesepakatan saya lupa membawa jimat. Hati saya langsung ketar-ketir. “Aduh, nggak jadi deh, nggak jadi deh”. Akhirnya kekhawatiran itu menjadi nyata, uang yang sudah dipelupuk mata itupun lenyap kembali., hanya karena hilangnya rasa percaya diri sehingga negosiasi pun terkesan kaku. Akibatnya, pihak klien membatalkan perjanjian. Wah, hari itu saya dimarahi atasan habis-habisan.
Saya Sering Meninggalkan Sholat Karena Jimat

Lama kelamaan saya capek sendiri mengurusi jimat kewibawaan itu, ya, setiap hari saya harus terus memakainya sedemikian rupa sehingga jimat itu nempel di kulit. Belum lagi ia juga tidak boleh kena air atau jangan sampai susunan jarum emas dan kulit macan itu berubah. Otomastis saya harus super hati-hati. Belum lagi setiap malam jum’at kliwon harus mandi kembang serta memperbaharui jimat itu dua bulan sekali.

Saya terus merenung memikirkan perjalanan hidup saya selama memakai jimat itu. Tingkat ketergantungan saya kepada jimat dan bulek Rina, sudah diluar kewajaran. Apalagi saya juga sering meninggalkan shalat. Dengan mata berlinang saya mengakui kesalahan, “Ya ampun, kenapa saya sering meninggalkan shalat?”. Apakah mungkin ada kaitannya dengan jimat pemberian bulek? Saya mencoba mengingat kembali waktu-waktu yang telah berlalu.

Ya, setelah memakai jimat itu saya digiring perlahan untuk meninggalkan shalat. Awalnya saya masih tetap rajin, tapi hati saya sudah mulai tidak tenang bila diajak berdoa. Selepas salam saya lepas mukena lantas jalan. Biasanya langsung kumpul sama teman-teman. Beberapa minggu berikutnya gangguan itu semakin berat. Saya mulai tidak bisa konsentrasi selepas takbiratul ihram, pikiran saya langsung melayang entah kemana. Terkadang seperti orang yang bengong, hingga akhirnya saya lupa bilangan rekaatnya. Karena sudah saking seringnya kadang sampai terucap, “Eh, sudah berapa rakaat ya”.

Minggu-minggu berikutnya bahkan saya tidak lagi mempertanyakan berapa bilangan rakaatnya. Karena yang terjadi justru ketika sedang melaksanakan shalat Ashar, saya sedang shalat Maghrib empat rakaat, “Gile lu, shalat tiga rakaat, emang kamu shalat apa?” tanya teman saya yang terheran-heran. “Shalat maghrib”, jawab saya dengan tidak bersalah. “sekarang belum maghrib”, terpaksa saya menambah satu rakaat lagi. Gangguan kelupaan shalat itu terus meningkat hingga terkadang saya langsung shalat tanpa berwudhu. Sedih rasanya hati ini bila membayangkan saat itu.

Keganjilan itu semakin menjadi-jadi ketika dalam alam tidur saya bermimpi shalat shubuh. Akibatnya saya terus saja terbuai dengan mimpi tanpa ada keinginan untuk bangun saat adzan. Saya tersadar ketika matahari sudah meninggi dan oalah… itu tadi hanya mimpi. Saya benar-benar belum shalat. Peristiwa ini terjadi berkali-kali.

Kian hari gangguan itu kian parah, hingga syetan memenagkan pertarungan. Saya dibuatnya rela meninggalkan shalat hingga dua hari. Anehnya, saat itu saat itu saya seakan tidak bersalah, dengan ringan. Keluar komentar dari mulut saya, “Ah, orang lain tidak shalat juga tidak apa-apa”. Sungguh menggelikan memang. Jimat itu telah menguasai saya secara perlahan.

Selain itu, telinga saya seakan kepanasan bila mendengar orang mengaji. Saat saya coba membaca Al-Qur’an beratnya bukan main. Baru dapat satu lembar saja, mata sudah sepet, ngantuk bahkan terkadang berair. Perut saya rasanya nek, pusing dan ingin muntah. Sesudah shalat saya lantas jalan, tidak baca apa-apa. Langsung buka mukena dan keinginan bermain dengan teman-teman tidak tertahankan lagi, “Eh, ntar saya jemput disini ya”, saya langsung menghubungi mereka.

Selanjutnya meluncur ke night club menikmati hingar-bingarnya dunia malam. Setelah memakai jimat itu, saya memang lebih suka keluyuran. Saya berpikir, “Uang ada, badan juga oke, lalu buat apa hanya berdiam diri di rumah”. Saya masih bersyukur ketika terlibat di dunia malam. Itu saya tidak terpengaruh untuk minum minuman keras ataupun extacy. Meski tidak saya pungkiri bahwa saya juga suka berdisko.

Berbekal dari renungan-renungan itu akhirnya mulai bulan juli 2002, saya tidak lagi memakai jimat pemberian bulek. Ini adalah awal tahapan baru dalam kehidupan saya, karena setelah itu saya memang tidak lagi bekerja di event organizer. Saya keluar dan bekerja disebuah penerbangan. Di tempat ini saya tidak bisa lagi seperti dulu, dengan hanya mengandalkan kemampuan bicara dapat menghasilkan uang. Di tempat ini saya harus banting tulang, terkadang saya harus kerja lembur untuk menyelesaikan tugas kantor.

Di balik kecapekan itu saya merasakan kenikmatan lainnya. Ya, kenikmatan yang sempat hilang sejak tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu saya bisa berdoa dengan khusyu’. Di keheningan malam saya bermunajat, “Ya Allah, Saya telah melakukan kesalahan dengan memakai jimat kewibawaan. Ya Allah, ampunillah dosa hamba-Mu”.

Ketergantungan kepada jimat memang tidak menyelesaikan masalah. Toh sebenarnya tanpa jimat itupun saya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan saya. Apalagi atasan saya sekarang sangat menghargai kinerja bawahannya. Yang terpenting saya telah melakukan kerja sebaik-baiknya.

Juli 2002 menjadi catatan tersendiri dalam diri saya, karena sejak itulah saya bisa meninggalkan jimat dan hanya bergantung kepada Allah yang disertai dengan usaha keras dalam bekerja. Kebetulan eyang saya juga mulai udzur. “Hafsari, aku itu sudah tidak bisa ngikuti kamu. Jadi kamu itu shalatnya harus mulai rajin. Karena iman itu tidak bisa di wariskan, kalau ilmu sih mungkin bisa di wariskan”. Pesan eyang yang terus membekas dalam hati.

Juli 2002 semakin membekas, karena pada bulan itu pula cinta jarak jauh yang terjalin dengan seorang WNI yang bekerja di luar negeri putus. Perpisahan itu tidak layak untuk disesali, karena saya sadar bahwa jalinan yang ada selama ini tidak terlepas dari jimat yang selama ini saya bawa kemana-mana. Jimat itu kata bulek memiliki tiga kekuatan, kewibawaan, mempercantik diri dan pengasih. Terlebih bila mengingat saya juga pernah mengirim garam yang telah dibacakan mantra oleh bulek Rina kepada kekasih jarak jauh tadi. Saya tidak perlu sebut namanya, karena lembaran itu telah benar-benar terkubur. Saya sadar bahwa rumahtangga tidak akan bisa dibangun diatas pondasi jimat pengasihan.

Eyang yang telah merawat saya sejak kecil juga sudah mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya pada pertengahan 2003 beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah melaksanakan shalat subuh sambil berbaring diatas tempat tidur. “jaga diri baik-baiklah. Jadilah wanita yang terhormat dan jangan lupa shalat”, sebaris pesan eyang kepada saya.

Menjelang meninggal, mulut eyang berbusa. Menurut cerita yang saya dengar, sebenarnya kalau saya mau mewarisi ilmu eyang, maka saya tinggal mengambil busa dengan tangan.
Sepeninggal nenek, saya mulai sakit-sakitan. Mulai dari radang ginjal sampai dua bulanan. Mungkin saya sedikit shok ditinggal Eyang yang dengan penuh kasih sayang merawat saya sejak kecil. Sedemikian sayangnya sehingga eyang tidak pernah marah. Selain itu saya juga sering migraine. Usus dalam lambung saya juga luka.

Derita demi derita itu kembali membuka cakrawala baru dalam kehidupan saya. Tepatnya tanggal 1 Februari 2004. ini adalah hari bersejarah bagi saya karena ini hari raya Idul Adha inilah saya mulai mengenakan jilbab. Sangat kontras dengan kehidupan saya sebelumnya yang suka mengenakan pakaian mini.

Saat pelaksanaan shalat di lapangan saya sempat menangis, karena saya mengingat apa yang terjadi masa lalu. “Ya Allah, kok sia-sia sekali hidup saya. Cantik, pintar ataupun kaya itu tidak ada artinya, bila tidak bertaqwa. Bila tubuh ini penuh dengan dosa”. Akhirnya saya bertekad. “oke, hari ini saya harus pakai Jilbab”.

Pertama kali memakai jilbab itu bukannya tanpa rintangan. Justru tantangan terberat datang dari orang-orang yang selama ini mengisi kehidupan saya. Teman yang sering jalan-jalan malam protes. “Lho kok berbeda sih. Nanti gimana kalau kita kumpul-kumpul. Gimana kalau kita merayakan ulang tahun salah satu teman kita?” namun saya pantang mundur. Saya jelaskan kepada mereka bahwa persahabatan tidak terhenti hanya karena jilbab.

Namun seiring dengan semakin dekatnya saya kepada ajaran agama, saya mengalami beberapa keanehan. Saya sering mimpi di kejar makhluk-makhluk yang menyeramkan. Kadang-kadang berbentuk ular atau srigala dan di lain kesempatan makhluk itu berbentuk macan. Dalam mimpi itu saya mencoba berlari dan berlari hingga akhirnya saya terbangun setelah terjatuh dari tempat tidur.

Mimpi-mimpi itulah yang mengantarkan saya untuk datang kekantor Majalah Ghoib, karena menurut seorang ustadz ada kemungkinan saya terkena gangguan jin. Saat mendengar ayat-ayat ruqyah telinga saya langsung kepanasan. Bahkan saat diruqyah ustadz Mulyadi jin yang telah merasuki saya mengejek. “Suaramu jelek”. Menurut seorang teman yang menemani saya ruqyah, jin yang merasuk ke tubuh saya itu genit. Mata saya dibuatnya melirik kesana kemari, seperti seorang wanita yang mencoba memikat lawan jenisnya. Bahkan saat itu saya sempat menangis.

Setelah ruqyah yang pertama itu, tiga hari kemudian saya ruqyah untuk kedua kalinya. Dan alhamdulillah kali ini tidak ada jin yang bereaksi. Saya berharap bahwa saya telah terbebas dari gangguan buruknya. Terlebih bila mimpi buruk yang sering menghantui saya, sejak ruqyah yang pertama tidak lagi saya alami.

Sekarang, saya sudah senang mendengar orang mengaji. Dulu kalau mengikuti kajian keislaman saya biasanya terlambat karena menghindar dari bacaan Al-Qur’an. Belum lama ini saya bisa datang lebih awal.

Semoga sepenggal kisah ini menjadi renungan bagi teman-teman saya yang masih suka menikmati indahnya hidup dengan menggunakan jimat, apapun nama dan jenisnya. Karena yakinlah bahwa itu semua tidak ada untungnya. Hanyalah derita batin yang akan terus menghantui.
Bedah Kesaksian

Entah berapa banyak korban yang telah termakan oleh iklan dan bualan dukun.Dan kita yakin jumlah jimat yang telah diproduksi dukun yang berkolaborasi dengan syetan lebih banyak dan beragam.Satu orang saja terkadang memiliki dua, tiga jimat bahkan lebih.Pernah ada salah seorang pasien ruqyah Majalah Ghoib menyerahkan jimat yang dikoleksinya sebanyak satu tas penuh.Bentuknya bermacam-macam,katanya khasiatnya juga beragam, yang dia dapatkan dari berbagai lapisan dukun yang tersebar di negeri ini. Salah satunya adalah Hafsari, dia telah terjerat jimat-jimat hasil produksi seorang dukun, jimat kewibawaan, kecantikan dan pengasihan, yang kebetulan dukun itu termasuk kerabat dekatnya. Dia telah menyerahkan empat macam jimat ke Majalah Ghoib untuk dimusnahkan sebelum diruqyah. Dan alhamdulillah kamipun telah memusnahkannya.

Sudah sekian lama dia menjadi budak jimat. Dia harus ekstra hati-hati ngrumat jimat itu. Dia harus menjaga formulasi susunan jimatnya agar tidak berubah. Tidak lupa memasang jimat itu setiap hari dengan seksama agar terus bisa nempel di kulitnya dan tidak terkena air. Dan dia merasa berkewajiban untuk memandikan jimat andalannya setiap malam Jum’at Kliwon, atau memperbarui kekuatannya setiap bulan. Semua ritual itu ditaatinya seratus persen agar ‘kesaktian’ jimatnya tidak luntur. Dia betul-betul telah menjadi budak syetan. Ketergantungannya kepada jimat membuatnya tersiksa dan menderita. Dan itulah bukti kebenaran sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang memakai sesuatu (jimat), maka (perkaranya) akan diserahkan kepadanya”.(HR.Ahmad). Hafsari telah mengalaminya, saat dia kelupaan membawa jimatnya. Dia tidak percaya diri, hatinya ketar-ketie, bayangan kegagalan menyelimuti pikirannya, yang akhirnya kekhawatirannya betul-betul terbukti, nego bisnisnya gagal total.

Begitulah, ketergantungan terhadap sesuatu membuat seseorang menjadi hambanyam Allah dengan murka-Nya berlepas diri dari orang tersebut.Itulah arti dari hadits riwayat Ahmad di atas. Ketika Allah berlepas diri, maka kegagalan pemegang jimat tidak dapat dielakkan lagi. Kelemahannya muncul saat kepercayaan dirinya hilang. Padahal percaya diri adalah modal utama bagi seorang yang bekerja sebagai pelobi klien.

Kecantikan dan penampilan sering menentukan apakah lobi itu berhasil atau tidak. Bahkan, hari ini, lobi-lobi dan tender-tender bisnis banyak digolkan di lapangan golf. Tentu dengan “bumbu” di lapangan itu. Dan siapa yang bumbunya paling sedap dialah yang akan memenangkan tender.

Untuk menambah kepercayaan diri plus menarik perhatian serta memenangkan tender sering kali seseorang memakai jimat kewibawaan dan kecantikan. Seperti kisah saudari kita Hafsari. Dia telah membuktikannya jimat kecantikan yang dia miliki. Bisnis besar dengan mudah gold dan para big bis terpukau dengan pesona yang memancar dari jimatnya.

Ini juga menunjukkan betapa jin telah merasuk ke berbagai sisi kehidupan orang yang lupa akan akhiratnya. Para big bos yang jauh dari Allah itu dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik jimat. Karena mereka juga para pemakai jimat dalam bisnis-bisnis mereka. Mereka yang tergantung kepada syetan dengan mudah juga dikuasai oleh syetan yang ada di jimat kecantikan dan kewibawaan.

Tinggal siapa yang lebih kuat jinnya. Pertarungan terbuka antar jin telah terjadi. Karena Allah telah terlepas diri dari mereka semua. Siapa yang lebih kuat jin dan sesajennya, dialah yang memenangkan pertarungan. Dan dalam kaidah kerjasama dengan dunia jin, mereka yang semakin jauh dari Islam lah yang akan menang.

Tragedi bisnis yang dimulai jin maka berakhir pula dengan jin. Berawal dengan kerugian beruju pula dengan kerugian. Kalau pun dia merasa untung dalam bisnisnya di dunia, tetapi kerugian di akhirat jelas telah menunggu.

Seperti halnya jimat yang lain, jimat kecantikan dalam bisnis juga akan berakhir sama dengan jimat yang lain. Ketidaktenangan di atas kedamaian semu, kegelisahan di atas kebahagian semu dan hidup yang selalu memunculkan lingkaran problem.

Jimat adalah benda mati yang tidak bisa mendengar jeritan kita, juga tidak bisa melindungi kita dari bencana atau membantu kita meraih kesuksesan. Kalau ternyata kita merasa jimat yang kita miliki bisa menolong dan melindungi, berarti mulai saat itulah kita berada dalam arus lingkaran syetan, kita dalam kungkungannya. Dan sejak detik itu pula kita menjadi budak syetan dan pemujanya, seperti yang pernah dialami saudari Hafsari. Maka berhati-hatilah, bisa saja orang yang selama ini dekat dengan kita, sangatperhatian dengan problematika yang kita hadapi, lalu memberikan solusi. Tapi ternyata solusinya menyimpang dan justru menjerumuskan kita, bukan menyelesaikan masalah, tapi malah memperburuk masalah. Sudah saatnya kita selektif atas informasi yang ada di sekitar kita dan tidak mudah percaya pada setiap sumber berita, walaupun dia bulek kita sendiri. Kalau memang tidak sesuai syari’at, kita harus berani menolaknya.

Perjuangan meraih hidayah seperti yang dicontohkan Hafsari adalah teladan yang baik. Segala kemewahan dan keberhasilan hidup bukan patokan untuk kita melanjutkan jalan jika salah. Kita harus segera kembali ke tempat awal agar memulai hidup yang benar. Kita doakan semoga Hafsari tetap istiqomah dalam menapaki Syari’at Islam. Keyakinan kita adalah: Hanya Allah tempat kita bergantung. (Diambil Dari Majalah Ghoib Edisi No. 16 Th. 21/1425 H/2004 M)

No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...