Ruqyah-online.blogspot.com-Pengkultusan terhadap seseorang, ditemukan hampir merata di seluruh penjuru nusantara. Disebabkan punya kedudukan atau dianggap tokoh besar maka ia dikultuskan dan dikeramatkan.
Pengkeramatan sang tokoh ini berlangsung sejak tokoh tadi hidup bahkan sampai ia meninggal dunia. Barang-barang yang berkaitan dengan sosok tadi pun dicari-cari dan diagung-agungkan, dijadikan jimat dan tidak lupa untuk dikeramatkan.Tambah parah lagi, makamnya senantiasa ramai dipadati oleh para pengagum dan simpatisan yang pingin 'ngalap berkah' dari kubur sang tokoh. Selalu semarak, itu yang terjadi di makam orang yang ditokohkan. Bahkan ketika tiba saat ulang tahun kematian dan kelahiran tokoh, semaraknya kubur lebih dibandingkan dengan semaraknya masjid-masjid Allah.
Kenyataan ini lebih tambah mengenaskan ketika ditemukan kenyataan bahwa mayoritas peziarah adalah mereka yang menyatakan diri sebagai orang muslim. Aktivitas yang berhubungan dengan pengagungan seorang tokoh selalu akan bertambah variasinya, karena berjalan seiring dengan ide dan kreativitas para pengagum. Contoh konkrit ada di zaman Nabi Nuh; Meninggalnya para tokoh agama di zaman itu memunculkan ide di kalangan para pengagum untuk membangun patung dan gambar demi mengenang sang tokoh. Awalnya untuk mendekatkan pada Allah. Ide berkembang setelahnya dengan menjadikan sang tokoh sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah. Berkembang lagi hingga menjadikan patung tadi sesembahan yang diibadahi selain Allah.
Anggapan yang telah menyebar di kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah , namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah .
Hal ini disebabkan karena kaum muslimin (terutama yang di Indonesia) sejak kecil telah ditanamkan pemahaman yang rusak ini. Apalagi ditunjang dengan sarana-sarana elektronik seperti adanya film-film para sunan yang menggambarkan kesaktian para wali. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin.
Kreatifitas kesyirikan ini hampir selalu berulang di setiap zaman dan generasi, karena ini adalah makar syaitan untuk menjerumuskan umat manusia ke dalam neraka. Tokoh yang dipuja bisa jadi berbeda namun sebenarnya hakikat kebatilan yang ditawarkan adalah sama. Di zaman Nabi Nuh yang diagungkan adalah wadd, suwa , yaghuts , yauq dan nashr, dan di kafir qurays ada yang dinamakan latta, uzza, manna dan hubbal.
Dan di negeri ini pun ada pula yang ditokohkan seperti itu. Wujud kreatifitas kesyirikan yang bisa ditemukan di masa kini, adalah dibuatnya berbagai perhelatan untuk mengagungkan sang tokoh, baik dengan mengadakan tour ziarah dan penarikan energi para wali, atau peringatan ulang tahun kelahiran dan kematian (haul). Atau mengawetkan barang-barang peninggalannya
Bila ditimbang dalam syariat Islam, hal yang berkaitan dengan mengagungkan tokoh dan peninggalan-peninggalan bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Bahkan sebaliknya pintu-pintu yang menuju kepada pengagungan tokoh melebihi kapasitas kemanusiaan dicegah dan ditutup oleh Rasulullah dan para sahabat.
Pengagungan terhadapan suatu benda dan individu tertentu hampir selalu identik dengan kesyirikan. Umumnya, sebuah masyarakat akan mengagungkan tokoh dan benda karena berjangkitnya penyakit kebodohan di tengah-tengah mereka. Tak tahu mana yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat Allah Ta'ala. Atau hadir di negeri tersebut para tokoh agama yang buruk yang memberikan contoh teladan keburukan kepada umat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sampai hal yang syirik pun dilegalkan oleh ulama buruk ini. Bisa juga terjadi karena memang masyarakat terlampau ghuluw dalam mengagungkan seorang tokoh. Atau bercokol di negeri itu para pemimpin yang buruk, yang tak menjalankan syariat Allah ta'ala.
Hukum ziarah ke kubur itu jelas dianjurkan dalam Islam. Karena didalamnya terkandung pesan agar kita ingat bahwa sebentar lagi kita pun akan ada di dalamnya. Dan semua orang pastilah akan menjadi penghuninya, cepat atau lambat.Namun jika kita berkeyakinan bahwa orang yang sudah mati itu lantas berdoa juga kepada Allah SWT untuk kebaikan kita, maka ada yang salah dalam memahaminya. Selain itu, menziarahi makam para wali itu harus dicermati dengan pemahaman akidah yang benar. Misalnya antara lain :
1. Bahwa orang yang sudah mati itu tidak bisa berdoa demi keselamatan dirinya sendiri, bahkan sibuk mengharapkan kiriman pahala bantuan dari orang yang masih hidup. Lalu bagaimana pula dia berdoa untuk keselamatan orang lain ?
2. Bahwa kita dibolehkan meminta untuk didoakan oleh orang yang shaleh dan dekat hubungan dengan Allah SWT. Namun bila orang shalih itu sudah wafat, tentu saja sudah lain lagi urusannya. Sebab mereka yang sudah mati sudah tidak lagi berurusan dengan yang masih hidup.
3. Bahwa meminta kepada mendoakan orang yang sudah wafat agar ruh orang mati itu mendoakan kita bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan pada prakteknya, justru hal itu sangat sulit dibedakan dengan meminta kepada ruh orang mati. Minta istri, lulus ujian, dagangan laku, naik jabatan, terpilih jadi wakil rakyat dan seterusnya. Tentu saja meminta kepada selain Allah SWT adalah syirik yang harus dihilangkan.
4. Dan sebenarnya, para wali yang diziarahi itu dulunya bukanlah tokoh sakti mandraguna yang punya sekian jenis ajian ghaib. Mereka itu adalah para pemimpin wilayah negeri Islam dalam sistem hukum negara Islam Demak. Istilah ‘wali’ yang disematkan kepada mereka bukanlah waliyullah yang umumnya dinisbatkan kepada orang ahli ibadat dan punya keistimewaan ini dan itu. Namun makna wali adalah pemimpin sebuah wilayah secara hukum dan administratif. Barangkali sekarang ini seperti gubernur. Hanya saja sistem hukumnya adalah hukum Islam. Itulah yang dikatakan para sejarawan tentang para wali songo itu. Sedangkan cerita yang beredar di tengah masyarakat itu sebenarnya tidak pernah bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiyah. Dan alangkah naifnya bila sosok para pemimpin Islam dan penyebar Islam di tanah Jawa itu disamakan dengan tokoh dunia persilatan yang bisa terbang, menghilang, bisa membuat hal ghaib dan sejenisnya.
Ketahuilah Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah Rosul-Nya bahwasanya Allah memiliki wali-wali dari golongan manusia dan demikian pula syaithon juga memiliki wali-wali dari golongan manusia. Maka Allah membedakan antara para wali Allah dan para wali syaithon. Sebagaimana firman Allah :
اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir penolong-penolong mereka adalah thogut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan.Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."”(Al-Baqarah : 257)
Allah Ta’ala juga berfirman
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ(98)إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ(99)إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ(100)
Allah Ta’ala juga berfirman
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ(98)إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ(99)إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ(100)
“Jika engkau membaca Al-Qur’an maka berlindunglah kepada Allah dari (godaan) syaithon yang terkutuk. Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya terhadap orang-orang yang beriman dan mereka bertawakal kepada Rob mereka. Hanyalah kekuatannya terhadap orang-orang yang berwala’ kepadanya dan mereka yang dengannya berbuat syirik.” (An-Nahl :98-100)
Allah Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
“Dan barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai wali selain Allah maka dia telah merugi dengan kerugian yang nyata”(An-Nisa’ : 119)
Allah Ta’ala juga berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thogut. Maka perangilah para wali-wali syaithon sesungguhnya tipuan syaithon itu lemah.” (An-Nisa’ : 76)
Maka wajib bagi kita untuk membedakan manakah yang merupakan wali-wali Allah dan manakah yang merupakan wali-wali syaithon, sebagaimana Allah dan Rosulullah membedakannya.
Definisi wali adalah :Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du (kejauhan). Sedangkan wali artinya yang dekat.
1. Kriteria Wali Allah
Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah dan dekat dengan Allah . Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :
Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi , menjalankan perintah Nabi dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah :“Katakanlah”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian” (Ali Imron :31).Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi maka kecintaannya kepada Allah adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.
Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah :“Wahai orang-orang yang beriman barang siapa dari kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah yang bersifat lemah lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersifat keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela.”(Al-Maidah : 54)
Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah:“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus : 62,63)
Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.
Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali dia harus ma’sum (tidak pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai seluruh ilmu syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at atau masih samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib bagi manusia untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah sehingga dia tidak menjadi seorang Nabi , tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada ajaran Muhammad . Jika sesuai, maka perkataannya diterima dan jika tidak, maka ditolak. Dan jika tidak diketahui apakah sesuai atau tidak dengan ajaran Nabi maka tawaquf Dan inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.
Umar bin Khottob adalah contoh seorang wali Allah, yang Rasulullah bersabda tentangnya :
Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan berita ghoib atau sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan Umar dan pada hatinya. Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar. “
Hadits-hadits ini jelas menunjukan bahwasanya Umar adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Namun hal ini tidak menunjukan bahwa Umar harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya
Yaitu pada saat Nabi Muhammad saw berumroh pada tahun ke enam Hijiroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musrikin tersebut untuk kembali ke Madinah pada tahun ini dan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Dan Umar termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi menjawab :”Benar”, lalu Umar berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi menjawab :”Benar”. Umar berkata :”Kenapa kita merendahkan agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar berkata :”Tidak”, Nabi berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.” Umar pun mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah , padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah . Dan Abu Bakar adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar , dan Umar mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya”
Ketika Nabi wafat, Umar mengingkari kematian Nabi . Namun tatkala Abu Bakar berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar pun menerimanya.
Ketika Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar berkata kepada Abu Bakar :”Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya”, maka Abu Bakar berkata :”Bukanlah Rosulullah bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar ”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar”
Faidah yang bisa diambil dari kisah ini adalah:
Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali.
Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah.
Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar jelas lebih mulia daripada Umar , namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah
Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar yang tetap melaksanakan perintah Allah
Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila engkau melihat seorang bisa berjalan di atas (Permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata :”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat sesseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap ia sebelum engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang trsebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah”.
Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar , beliau tidak membantah Abu Bakar dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”
Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud t berkata :”Tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika Muhammad telah diutus dan nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad telah diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya.”
Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Sebagaimana firman Allah : “Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (An-Najm : 32 )
Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah karena telah melanggar larangan Allah ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.
Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya. Dan wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain. Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama.
Contoh-contoh karomah para wali Allah
Amir bin Fahiroh mati syahid, maka mereka mencari jasadnya namun tidak bisa menemukannya. Ternyata ketika dia terbunuh dia diangkat dan hal ini dilihat oleh Amir bin Thufail. Berkata Urwah:”Mereka melihat malaikat mengangkatnya”
Kholid bin Walid ketika mengepung musuh di dalam benteng yang kokoh, maka para musuhpun berkata :”Kami tidak akan menyerah sampai engkau meminum racun”, lalu diapun meminum racun namun tidak mengapa.
Sa’ad bin Abi Waqqos adalah orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan dengan do’anya itulah dia berhasil mengalahkan pasukan Kisro dan menguasai Iroq.
Umar bin Khottob, pernah mengutus pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Dan ketika Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenangkan kami”.
Abu Muslim Al-Khoulani, dia pernah dicari oleh Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Lalu Al-Aswad bertanya kepada beliau :”Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rosul Allah?”, lalu dia berkata :”Saya tidak dengar”, lalu dia bertanya lagi :”Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosul Allah?”, beliau menjawab :”Ya”. Lalu disiapkan api dan beliau dilemparkan ke api. Namun mereka mendapatinya sedang sholat di dalam kobaran api itu, api itu menjadi dingin dan keselamatan untuknya.
Sa’id Ibnul Musayyib, di waktu hari-hari yang panas, beliau mendengar adzan dari kuburan Nabi ketika tiba waktu-waktu sholat, dan mesjid dalam keadaan kosong (karena panasnya hari –pent), tidak ada seorangpun kecuali dia.
Uwais Al-Qorni ketika wafat mereka menemukan di bajunya ada beberapa kain kafan yang sebelumnya tidak ada, dan mereka juga menemukan lubang yang digali di padang pasir yang sudah ada lahadnya. Lalu mereka mengafaninya dengan kefan-kafan teresbut dan menguburkannya di lubang tersebut.
Asid Bin Hudlair membaca surat Al-Kahfi lalu turunlah bayangan dari langit yang ada semacam lentera dan itu adalah para malaikat yang turun karena bacaannya. Dan malaikat pernah menyalami Imron bin Husain . Salman dan Abu Darda’ makan di piring lalu piring mereka bertasbih atau makanan yang ada pada piring tersebut bertasbih. Ubbad bin Busyr dan Asid bin Hudlair kembali dari Rosulullah pada malam yang gelap gulita. Maka Allah menjadikan cahaya bagi mereka berdua, dan tatkala mereka berpisah maka terpisah juga cahaya tersebut.
Muthorrif bin Abdillah jika memasuki rumahnya maka tempayan-tempayannya bertasbih bersamanya. Dia bersama seorang sahabatnya berjalan di malam hari, lalu Allah menjadikan cahaya untuk mereka berdua.
Ahnaf bin Qois. Ketika dia wafat, tutup kepala milik seseorang terjatuh di kuburannya. Lalu orang tersebut mengambil topinya, dan dia melihat kuburannya telah menjadi seluas mata memandang.
Utbah Al-gulam, dia meminta kepada Allah tiga perkara, yaitu suara yang indah, air mata yang banyak, dan makanan yang diperoleh tanpa usaha. Dan jika dia membaca Al-Qur’an maka dia menangis dengan air mata yang banyak. Dan jika dia bernaung di rumahnya dia mendapatkan makanan dan dia tidak tahu dari manakah makanan tersebut.
2. Kriteria Wali Syaitan.
Allah Ta’ala telah menerangkan ciri-ciri wali syaitan pada ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Dan barang siapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rohman, kami adakan baginya syaithon yang menyesatkan, maka syaithon itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf : 36)
Allah Ta’ala juga berfirman :
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ(221)تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ(222)يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ(223)
“ Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?,mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta.” (As-Syu’aro’ : 221,223)
Contoh-contoh tipuan syaithon :
Abdullah bin Soyyad. Nabi pernah menguji Ibnu Soyyad (seorang dukun yang hidup di zaman Nabi yang dia adalah seorang Yahudi). Nabi berkata kepadanya :”(Cobalah tebak) aku menyembunyikan sesuatu (di hatiku)”. Ibnu Soyyad berkata :”Ad-Dukh…Ad-Dukh..”. Padahal sesungguhnya Nabi sedang menyembunyikan surat Ad-Dukhon. Lalu Nabi berkata kepadanya :”Engkau tidak mampu melampaui kemampuanmu” Ibnu Soyyad hampir betul menebak apa yang ada di hati Nabi, dan ini adalah suatu keajaiban, namun dengan bantuan syaithon. Karena seorang yang normal maka dia tidak akan bisa mengetahui isi hati manusia, bahkan Nabi pun tidak mengetahui isi hati manusia kecuali yang diberitahu oleh Allah . Para sahabat pun (kecuali Hudzifah, karena dia telah diberitahu oleh Nabi tidak mengetahui siapa-siapa saja orang munafik yang ada bersama mereka)
Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Dia dibantu para syaithon yang memberitahukan kepadanya tentang perkara-perkara ghoib. Dan tatkala kaum muslimin memeranginya mereka kawatir para syaithonnya akan mengabarkan kepadanya apa yang mereka bicarakan tentang dirinya (yaitu bahwasanya dia akan dibunuh –pent). Namun istrinya sadar akan kekafiran suaminya maka diapun menolong kaum muslimin.
Musailamah Al-Kadzdzab yang juga mengaku sebagai nabi, memiliki syaithon-syaithon yang memberitahukan perkara-perkara gho’ib kepadanya dan membantunya melakukan hal-hal yang ajaib. Diantaranya dia pernah meludah di sumur sehingga air sumur tersebut menjadi melimpah.
Al-Harits Ad-Dimasyqi, seorang pembohong besar yang muncul dan mengaku sebagi nabi di Syam pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86 H). Al-Harits memiliki kemampuan ajaib. Para syaithonnya melepaskan kedua kakinya dari belenggu, dan membuatnya kebal senjata, dan batu pualam bisa bertasbih jika dia sentuh dengan tangannya. Dan dia telah melihat orang-orang dalam keadaaan berjalan dan naik kuda terbang di udara, dia berkata : “Mereka adalah malaikat”, padahal mereka adalah jin. Dan tatkala kaum muslimin menangkapnya untuk dibunuh, maka ada orang yang menombaknya di tubuhnya, namun tidak mempan. Maka Abdul Malik berkata kepadanya :”Engkau tidak menyebut nama Allah”. Lalu orang itu menyebut nama Allah dan berhasil membunuh Al-harits.
Lia ‘Aminuddin, yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mengaku telah didatangi oleh Jibril. Keajaiban yang ada padanya yaitu dia mampu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan dia mengaku adalah seseorang yang memberantas bid’ah dan kesyririkan.
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...