Oleh Dr. H. Abdul Majid
BAGAIMANA perasaan atau apa yang sempat Anda pikirkan ketika berada di depan makam (kuburan) Rasulullah Muhammad saw? Ya, mungkin di antara pembaca ada yang saat Ramadan ini sempat beribadah umrah dan mendatangi masjid Nabawi di Madinah, yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah saw.
Pada umumnya, para jemaah haji atau umrah mengatakan, "Air mata berlinang tak terasa, dan (1) Tiba-tiba saya merasakan begitu nikmatnya hidup ini andai bisa bersama dengan orang yang diagungkan Allah; (2) Bangga, terharu, dan bersyukur bisa berada di depan makam (kuburan) beliau, orang yang mulia akhlaknya, dikagumi dan dicintai seluruh kaum Muslimin, walaupun tak pernah bersua secara fisik."
Kalau deskripsi singkat tersebut kita hubungkan dengan pertanyaan mendasar, apa sebenarnya yang menjadi tolok ukur kesuksesan hidup seseorang, khususnya Muslim, dalam perjalanan kehidupannya, jawabannya tentu adalah karena kepribadian orang yang bersangkutan baik dan disenangi oleh orang lain. Kepribadian seperti inilah yang kemudian disebut akhlak.
Kalau kita menyimak dengan baik mengapa Nabi Muhammad saw. berhasil dengan baik dan sempurna menyampaikan risalah tauhid kepada komunitas Arab kafir Qurais saat itu, jawabannya karena akhlak beliau yang amat terpuji. Fazlur Rahman, seorang pemikir Muslim kontemporer, di dalam bukunya Islam (1979) mengatakan, sebenarnya Muhammad bin Abdullah tidak begitu dikenal oleh masyarakat Arab saat itu. Kecuali, karena ia berperilaku jujur. Jujur adalah salah satu wujud nyata akhlak seseorang.
Demikian urgennya kejujuran, sehingga almarhum Mohammad Hatta pernah berkata, "Lebih baik berteman dengan orang bodoh tetapi jujur, daripada berteman dengan orang pintar tetapi tidak jujur." Kejujuran merupakan salah satu pilar kepribadian Muhammad sehingga beliau terpilih sebagai pemimpin masyarakat internasional menuju kehidupan yang penuh kedamaian sekaligus menyudahi seluruh perutusan Allah di dunia ini.
Inilah salah satu makna dari pernyataan Allah SWT di dalam Alquran, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (Q.S. Al-Ahzab/33:40).
Status seperti itulah yang menempatkan Rasulullah sebagai pembawa misi kesemestaan, sebagaimana penjelasan pada salah satu firman-Nya, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (Q.S. Al-Anbiya, 22:107).
Kalau kita bertanya, mengapa beliau berhasil memukau masyarakat internasional dan dicintai orang hingga sekarang? Jawabannya karena akhlak beliau yang demikian mengesankan. Kesan yang demikian mendalam dan terpuji itu, rupanya bukan datang dari kalangan internal umat Islam, namun juga datang secara eksternal dari para sarjana non-Muslim. Para sarjana Barat dan politikus menyebutkan suatu kenyataan bahwa di antara pribadi-pribadi umat manusia beragama dan pemimpin dunia terkenal, beliaulah satu-satunya orang yang seluruh aspek kehidupannya tercatat dengan abadi dalam sejarah kehidupan umat manusia.
Smith, sebagaimana yang dikutip Maulvi Majid 'Ali Khan, dalam bukunya yang memenangkan sayembara penulisan tentang siapa Nabi Muhammad saw., Muhammad The Final Messenger (1980) berkata, "Dalam Islam kita mengenal banyak tokoh, tetapi sangat berbeda dengan yang satu ini. Sejarah Muhammad bukan pula sesuatu yang bersifat bayangan dan bukan pula sesuatu yang misterius, tetapi kita punya catatan sejarah. Kita tahu betul sejarah eksternal kehidupan Muhammad, sedangkan sejarah internalnya setelah menjadi Rasul telah nyata bagi kita.
Tentang riwayatnya, kita mempunyai buku yang benar-benar unik keasliannya, perawatannya, sedangkan otoritas isinya tidak seorang pun yang dapat meragukannya."
Sebagai pengikut setia ajaran dan keteladanan hidup beliau, kita tarik ke tengah-tengah kehidupan praktis masyarakat Muslim di Indonesia belakang ini, yang bercita-cita meneladani kehidupan (sunah) beliau, menyimpan pertanyaan, misalnya, mengapa ada pemimpin umat tidak lagi karismatik di kalangan umat, kurang simpatik, umat yang gampang terpengaruh oleh keadaan situasional, dan sebagainya. Itu semua bermuara pada persoalan bagaimana kadar atau kualitas akhlak kita sekarang.
Akhlak adalah kondisi jiwa yang fitri (suci) sesuai dengan penciptanya (Allah) yang mewujud dalam bentuk perilaku yang mulia. Hal itu dari waktu ke waktu semakin menarik perhatian banyak pihak untuk selalu membicarakannya, yang pada gilirannya melahirkan banyak istilah dan teori, baik yang muncul dari kalangan sarjana Muslim maupun dari para sarjana non-Muslim. Dalam beberapa literatur, kata ”akhlak” sering dimaknai atau diindentikkan dengan moral, etika.***
Penulis, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...