1/02/2008

Ilmu Hikmah yang Hakiki

Ilmu Hikmah yang kita bahas pada tema ini adalah satu kata yang berbeda makna, bahkan berseberangan. Ilmu Hikmah yang beredar di masyarakat, diiklankan di media, diperjual-belikan, bisa ditransfer ke mana saja atau ke siapa saja, bisa dipelajari dalam beberapa saat bahkan beberapa menit, setelah itu akan nampak hasil yang spektakuler dari pelakunya. Badannya jadi kebal senjata, tubuhnya jadi kuat berlipat­-lipat, bisa memasuki alam ghaib dan berkomunikasi dengan jin, mampu melakukan hal-hal di luar kewajaran manusia dan lain sejenisnya. Itu adalah ilmu hikmah yang cara penguasaannya didahului dengan ritual khusus dengan bacaan khusus yang biasanya menyimpang dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah.

Bentuk penyimpangan bisa terjadi pada materi bacaan dan juga dalam cara penguasaannya. Termasuk penyimpangan bacaan di antaranya, membaca bacaan yang tidak jelas maknanya dan juga sumbernya. Misalnya, amalan ilmu hikmah melindungi diri dari gangguan syetan di perjalanan. Bacaan yang diperintahkan adalah "Tuhuronin" (5x), disambung ayat 21-24 dari surat al-Hasyr, lalu ditutup dengan huruf Ha' (3x) dan Hamzah (7x). meskipun ayat yang disebutkan itu jelas bersumber dari al-Qur'an, tetapi kalimat pembuka dan penutupnya tidak dimengerti maknanya. Bentuk penyimpangan dalam cara pelaksanaan atau penguasaannya. Masih dengan amalan tersebut, si pemberi amalan ilmu hikmah ini menyuruh para pengamalnya untuk menulis bacaan tersebut di kain putih atau kertas putih, lalu di bawah pergi ke mana-mana selama dalam perjalanan.[1]

Laiknya orang dalam perjalanan, baik via darat, laut, atau udara. Terkadang dalam perjalanan, kita ingin buang air kecil atau air besar. Kalau tulisan ayat itu harus dibawa pergi kemana-mana, berarti kita harus membawa ayat ke toilet atau WC. Padahal perbuatan itu menyalahi syari'at. Di samping itu, tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an ataupun al-Hadits yang menjelaskan bahwa syetan takut pada orang yang membawa tulisan seperti itu. Inilah contoh kecil dari bentuk penyimpangan dari amalan yang banyak beredar di masyarakat yang mereka sebut dengan ilmu hikmah.

Kalau amalan tersebut kita bandingkan dengan ajaran Rasulullah, sangat jauh berbeda. Dengan tujuan dan maksud yang sama, agar kita dilindungi oleh Allah dari aangguan syetan saat keluar rumah atau saat bepergian. Rasulullah tidak menyuruh kita untuk menulis di kertas atau kain lalu dikantongi, tetapi Rasulullah menyuruh kita untuk membaca. Bacaan yang diajarkan Rasulullah jelas merupakan do'a berlindung kepada Allah, tidak ada kata yang tidak bisa dipahami, hal itu berbeda dengan amalan di atas yang katanya termasuk ilmu hikmah.

Inilah ajaran Rasulullah kepada umatnya apabila ingin selamat dari gangguan syetan dalam perjalanan. Anas bin Malik berkata: Rasulullah bersabda, "Barangsiapa keluar dari rumahnya membaca: `Bismillah (dengan nama Allah), aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah". Maka dikatakan kepadanya: `Dengan do'a itu, Kamu telah tercukupi dan terlindungi'. Dan syetan pun akan menjauh darinya'." (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).

Sungguh jauh berbeda, antara ilmu hikmah yang mereka ajarkan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun yang pertama menggunakan ayat-ayat al­-Qur'an, tetapi dicampur dengan kalimat yang tidak bisa dimengerti. Cara pelaksanaannya pun berlainan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Amalan mana yang Anda pilih? Kegunaannya sama. Tetapi yang satu sumbernya tidak jelas, sedangkan satunya bersumber dari wahyu yang dijamin kebenarannya. Pasti kita akan memilih yang jelas dan kebenarannya terjamin, karena do'a adalah inti dari ibadah. Bagaimana mungkin kita beribadah dengan benar kalau menyalahi ajaran Rasulullah?

Asal Muasal
Banyak masyarakat kita punya anggapan bahwa Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib adalah bagian dari ilmu hikmah. Padahal pengertian dari ilmu hikmah yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib lebih tepat disebut sebagai ilmu kesaktian atau ilmu perdukunan. Dan sangat jauh berbeda dengan pemahaman ilmu hikmah yang sebenarnya. Selama ini masyarakat kita menjadikan Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib untuk memohon datangnya pertolongan yang diyakini mampu membantu mereka untuk memenuhi keperluan atau mewujudkan keinginan, dan ada juga yang menjadikannya sebagai media perlindungan diri dari segala marabahaya yang ada. Untuk pengasihan (guna-guna atau pelet), untuk kekebalan agar tidak mempan senjata tajam dan peluru, untuk penjagaan diri dari kejahatan jin dan syetan, untuk pengobatan beberapa macam penyakit, untuk memperlancar datangnya rizki, untuk meraih jabatan atau pangkat, dan kebutuhan duniawi lainnya.

Dari mana asal muasal datangnya ilmu seperti itu? Tidak ada keterangan pasti atau referensi yang dapat dipercaya yang mampu menjelaskan asal muasal datangnya ilmu yang mereka sebut dengan ilmu hikmah. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan tentang ilmu hikmah, tetapi yang dimaksud oleh al-Qur'an dan hadits tersebut bukanlah ilmu hikmah yang banyak diiklankan di media massa. Bukan ilmu hikmah yang berupa Wifiq, Rajah, Isim atau Hizib.

Menurut KH. Dr. Said Agil Siradj (dosen pasca sarjana UIN Jakarta), "Ilmu hikmah bukanlah ilmu tasawuf, dan juga bukan semacam karamah. Tetapi kalau ilmu hikmah diamalkan sesuai aturan, akan membawa hasil yang diharapkan, tidak peduli apakah yang mengamalkan itu orang baik, setengah baik, atau tidak baik (orang jahat)." [2]

Selanjutnya di majalah yang sama, dia mengutip pendapat Imam Abdullah Sahal at-Tasturi yang mengatakan bahwa ilmu hikmah adalah ilmu kuno (awail), yang diturunkan oleh Allah khusus kepada orang yang bernama Hurmus yang keberadaannya sampai sekarang masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah Nabi Idris, ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang tokoh di zaman Babylonia, dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah tokoh Mesir kuno sebelum Fir'aun. Hurmus inilah yang menerjemahkan nilai-nilai ghaib menjadi kenyataan. Dari Hurmus itulah terbentuk kata Hermeunetik, yaitu upaya menafsirkan sesuatu yang ghaib menjadi nyata.

Dia juga mengatakan bahwa mengenai hubungan antara ilmu hikmah dengan jin, hal itu dilakukan sebelum Islam datang. Setelah itu memakai khadam jin Islam. Menurutnya, tidak salah menggunakan khadam jin Islam untuk tujuan-tujuan yang baik. Sampai sekarang masih ada kiai yang punya `penjaga rohani' di belakang layar. Misalnya Kiai Hamid di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia juga mengatakan bahwa kakeknya (Kiai Said) juga punya khadam yang mampu melindunginya dari kejaran tentara Belanda yang saat itu mengejar-ngejarnya.

Masih di majalah yang sama, KH. Syafi'I Hadzami mengakui bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan ilmu hikmah (yang mereka maksud) jarang yang bersanad kuat, bahkan banyak yang tidak bersanad. Karena hadits-hadits itu didapat oleh para ulama melalui mimpi. Mereka mengaku bertemu Rasulullah yang menganjurkannya membaca bacaan-bacaan tertentu.

Dengan begitu, ilmu hikmah seperti yang dipahami banyak masyarakat selama ini sumber dan asal muasalnya tidak jelas. Tidak ada hadits shahih yang mengabarkan bahwa Rasulullah pernah mengamalkan ilmu seperti itu, begitu juga para shahabatnya. Dan Rasulullah telah mengajarkan kepada kita cara berlindung dari kejahatan semua makhluk, jin dan manusia. Cara tersebut telah dikumpulkan oleh para ulama dalam kitab-kitab hadits. Cara Rasulullah inilah yang harus kita praktikkan dan kita lestarikan. Dan cara yang tidak jelas sumbernya seharusnya kita tinggalkan. Apalagi kalau kita tidak paham akan bacaannya, jangan-jangan malah ada kesyirikan di dalamnya. Akibatnya bisa fatal kan?

Di Era Shahabat Lebih Dibutuhkan

Pada era Rasulullah, saat dakwah Islam mulai disebarkan, banyak terjadi gesekan dengan agama lain yang lebih dahulu berkembang di Mekkah atau Madinah dan wilayah sekitarnya. Mereka yang tidak rela saat melihat Islam terus melaju dan berkembang, mulai melakukan intimidasi, teror dan sabotase. Tidak hanya sebatas ancaman dan gertakan, tetapi sudah sampai pada tindak kekerasan dan teror fisik. Beberapa pengikut Rasulullah mulai syahid berguguran dalam rangka mempertahankan akidah Islam mereka.

Intimidasi kaum kafir terhadap orang-orang muslim tidak hanya terjadi di Mekkah. Setelah mereka hijrah ke Madinah pun teror itu terus berlanjut. Akhirnya perang demi perang tak terelakkan. Orang kafir berusaha menghentikan dakwah Rasulullah, sementara itu Rasulullah dan para sahahabatnya bertekad untuk terus menyebarkan ajaran Islam sampai titik darah pengahabisan.

Saat itu jumlah umat Islam masih sangat sedikit, berbeda sangat jauh dibanding jumlah mereka yang kafir dan memusuhi Islam. Dalam Perang Badar (perang yang pertama), jumlah pasukan Islam 313 orang. Sedangkan jumlah pasukan orang kafir 1300 orang, dilengkapi dengan kendaraan perang yang memadahi dan senjata-senjata perang yang lebih dari cukup. [3]

Sedangkan dalam Perang Uhud, jumlah pasukan Islam 700 orang yang mulanya berjumlah 1000 orang. Sementara pasukan kafir berjumlah 3000 orang, dengan menggunakan 3000 ekor unta, 200 ekor kuda dan dilengkapi 700 baju besi. Sungguh merupakan kekuatan bilangan yang tak sebanding. Paling tidak, satu pasukan muslim harus berhadapan dengan 3 orang lebih. [4]

Dalam kondisi seperti itu, apakah Rasulullah mengajarkan kepada para shahabatnya ilmu yang mampu membuat kulit mereka kebal senjata tajam? Agar mereka sanggup menghadapi kekuatan lawan yang berlipat-lipat dengan persenjataan yang lebih lengkap. Tidak, sekali lagi tidak. Tidak ada kitab sejarah yang terpercaya dan menceritakan hal-hal seperti itu. Justru malah sebaliknya, kitab-kitab sejarah itu mengabarkan puluhan shahabat Rasulullah yang syahid di medan perang karena tikaman senjata lawan. Ratusan shahabat yang terluka, terkena sabetan dan goresan serta tusukan senjata lawan. Bahkan Rasulullah sendiri, giginya patah kena panah, tubuhnya juga bersimbah darah.

Apakah Rasulullah tidak tahu bahwa ada ilmu Hikmah yang bisa membuat kulit seseorang kebal senjata tajam. Apakah Anda punya pikiran bahwa Rasulullah sebodoh itu? Rasulullah adalah orang yang paling dikasihi dan dicintai oleh Allah. Begitu juga para shahabatnya, mereka adalah generasi terbaik dan paling dicintai oleh Allah SAW dan rasul-Nya. Kalau memang ada ilmu yang bisa membuat badan kebal senjata tajam, pasti Allah akan memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang dicintainya. Agar jumlah umat Islam yang berperang mempertahankan kesucian agama-Nya tidak berkurang atau mati disebabkan senjata lawan.
Bahkan sejarah Islam telah mencatat, paman Rasulullah yang bernama Hamzah bin Abdul Mutthalib yang bergelar `Singa Allah', mati syahid oleh senjata musuh. Umar bin Khatthab, mertua Rasulullah yang gagah berani, syetan pun takut berpapasan dengannya. Utsman bin `Affan, menantu Rasulullah yang bergelar `Pemilik dua cahaya'. Ali bin Abi Tahlib, menantu Rasulullah yang menjadi khalifah Rasul yang keempat. Semua sosok mulia itu matinya disebabkan tikaman senjata lawan. Mereka tidak kebal, kulit-kulit mulia mereka bisa dirobek senjata. Masih banyak lagi shahabat Rasulullah lainnya, hamba-hamba Allah yang paling bertakwa, melalui siang dengan puasa, melewati malam dengan tahajjud, yang mati syahid di ujung senjata musuh. Radhillohu `anhum aua radhu `anhu.

Kalau memang ilmu kesaktian dan kekebalan yang mereka namakan dengan ilmu Hikmah itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang bersih hatinya, takwa derajatnya. Seharusnya para shahabat Rasulullah itulah yang lebih berhak memilikinya. Karena mereka pribadi yang paling bertakwa, kemuliaan mereka diakui oleh Allah dan rasul-Nya. Untuk ilmu seperti itu kalau ada, era mereka lebih membutuhkan untuk mensiarkan Islam, menegakkan panji-panji Allah di bumi ini. Tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Meskipun begitu, Allah tidak meninggalkan mereka, pertolongan Allah selalu bersama mereka. Sehingga hampir di setiap peperangan dan pertempuran, mereka selalu menang. Meskipun dalam setiap peperangan itu, ada di antara mereka yang mati, dan ada yang terluka. Akhirnya siar Islam terus berkembang sampai ke zaman kita ini, dan sampai kiamat nanti.

Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata atau menafikan akan adanya cerita tentang nenek moyang kita yang katanya sakti mandraguna, kebal senjata tajam atau tidak mempan timah panas. Sampai sekarang juga, fenomena itu terkadang masih kita saksikan keberadaannya di tengah masyarakat. Ada atraksi kekebalan, pamer kesaktian dan unjuk kekuatan. Media massa pun ramai mengekspos kehebatan mereka, dengan julukan si manusia digdaya, orang hebat, jawara pilih tanding, pendekar sakti mandraguna, makhluk terkuat, atau sosok yang luar biasa.[5]

Meskipun kita tidak tahu secara persis, bagaimana orang-orang itu memperoleh 'kesaktiannya'. Ritual apa saja yang telah mereka jalani. Lelaku apa saja yang telah mereka lakoni. Apakah yang ada di hadapan kita itu hanya intrik atau memang mistik.

Apakah atraksi kehebatan yang ada itu sihir atau permainan alat-alat mutakhir. Yang kita tahu hanya, Mereka sekarang sudah menjadi orang hebat, lalu kita ingin meniru kehebatannya. Ingin belajar dan berguru kepadanya'. Akhirnya, ilmu agama kita abaikan dan kita remehkan. Sementara ilmu kesaktian, kita cari-cari dan kita pelajari. Innalillahi wa innna ilaihi rajiun.

Pertanyaan yang mendasar sekarang adalah, kalau di zaman Rasulullah dan para shahabatnya, ilmu kesaktian dan kedigdayaan seperti itu tidak diajarkan, lalu sekarang kita mengenal adanya ilmu semacam itu, "Dari mana datangnya ilmu tersebut, siapa yang meramunya dan siapa yang mengajarkannya pertama kali? Mengapa ilmu itu dimasukkan ke dalam ilmu Hikmah sehingga merancukan pengertian ilmu Hikmah yang terkandung dalam al-Qur'an? Apakah ini merupakan upaya musuh-musuh Islam untuk memalingkan para generasi Islam dari syaria't dan sunnah Rasulullah Atau ilmu seperti itu merupakan penestrasi ajaran agama lain ke Islam, atau akulturasi budaya nenek moyang yang diklaim sebagai bagian ajaran Islam oleh orang-orang Islam sendiri? Sungguh merupakan pertanyaan yang jawabannya memerlukan kajian yang panjang dan melelahkan.

Lebih Berkembang dan Dominan
Sampai saat ini, ilmu Hikmah yang berkembang di masyarakat adalah ilmu hikmah yang identik dengan ilmu kesaktian dan olah kanuragan. Sehingga terformat dalam benak masyarakat yang tidak suka dengan ilmu sejenis itu rasa dan sikap kebencian terhadap ilmu Hikmah itu sendiri. Dan itu merupakan keberhasilan mereka dalam merusak citra ilmu Hikmah yang sebenarnya. Padahal ilmu hikmah itu hakikatnya bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits. Orang bisa dikatakan sebagai ahli hikmah (al-Hakim), karena ucapan dan perbuatannya sesuai dengan dua sumber suci tersebut. Apabila menyimpang dari keduanya, bukan ahli Hikmah namanya.

Di sisi lain, karena pengertian dari ilmu Hikmah sudah diputar balikkan, akhirnya generasi Islam banyak yang menganggap bahwa ilmu Hikmah yang berkembang di masyarakat dewasa ini adalah bagian dari ilmu Islam. Tidak berbahaya atau berdosa untuk dipelajari, bahkan malah harus atau wajib. Menurut keterangan para pasien yang pernah menjalani terapi ruqyah syar'iyyah mereka pernah belajar ilmu kesaktian yang diberi lebel ilmu Hikmah. Dan dari sekian orang yang mengaku dahulunya berhasil dalam mempelajari ilmu Hikmah tersebut, reaksinya cukup keras saat menjalani terapi ruqyah, bahkan banyak yang melakukan perlawanan seraya mempraktikkan jurus-­jurus saktinya.

Media massa punya peran penting dalam memblow-up praktik praktik ilmu kesaktian tersebut. Banyaknya iklan yang ada, memudahkan bagi siapa saja untuk belajar ilmu olah kanuragan itu. Apalagi ada propaganda bahwa mempelajari ilmu itu cukup mudah dan murah. Ada yang mengajarkannya dengan mahar (bayar), dan ada juga yang memberikannya secara gratis. Dalam semalam, mereka menjanjikan suatu yang luar biasa. Bisa kebal dan sakti, uji coba di tempat. Tidak terbukti, uang kembali. Sakti dalam sesaat. Siapa makhluk yang membantu mereka?

Karena mudah dan cepat itulah, banyak generasi muda tergiur untuk belajar, yang laki atau perempuan. Mereka lebih suka puasa mutih berhari-hari, dari pada puasa Senin-Kamis. Mereka lebih suka bangun malam, shalat dua rakaat lalu merapal mantra (wirid) sampai pagi, dari pada shalat tahajjud dan witir atau baca al-Qur'an. Mereka suka mendatangi perguruan kesaktian, daripada datang ke majlis ta'lim yang mengajarkan al-Qur'an dan tafsirnya. Mereka lebih suka mengamalkan Rajah, Isim, Wifiq dan Hizib dari pada do'a-do'a yang berasal dari Rasulullah. Mereka lebih percaya diri dengan membawa jimat ke mana-mana dari pada membaca do'a-do'a yang telah dicontohkan Rasulullah. Ironis memang, tapi itulah yang sekarang pesat berkembang dan dominan.

Padahal dalam haditsnya, Rasulullah menyatakan, "Tidak ada amalan (perbuatan) yang bisa mendekatkan pelakunya ke surga, kecuali aku telah memerintahkannya. Dan tidak ada amalan (perbuatan) yang bisa mendekatkan pelakunya ke neraka, kecuali aku telah melarangnya. Janganlah kalian bermalas-malasan untuk mencari rizki. Karena malaikat Jibril telah memberitahukan kepada diriku, bahwa tidak seorangpun dari kalian mati, kecuali rizki yang ditakdirkan telah diterimanya. Maka takutlah kalian kepada Allah wahai manusia, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Apabila kalian merasa rizkinya seret, janganlah mencarinya dengan cara maksiat. Karena karunia Allah tidak bisa diperoleh dengan cara masiat (salah)." (HR. Hakim, no. 2136).

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah berkata bahwasannya ia telah mendengar Rasulullah bersabda, "Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena yang menyebabkan binasanya umat sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan menyimpangnya mereka dari sunnah nabi mereka." (HR. Muslim, no. 4348).

Dengan demikian, masihkah kita memilih sakti dan hebat di dunia dengan menyalahi sunnah Rasulullah, atau kita lebih memilih sunnah Rasulullah yang memberikan jaminan kepada kita akan kebahagiaan dan keamanan dunia dan akhirat. Meskipun di dunia kita tidak sakti dan hebat, sebagaimana yang dialami para shahabat Rasulullah Kita harus menentukan pilihan itu dari sekarang, sebelum terlambat

Mempelajari Sumber Ilmu Hikmah
Apabila kita memperhatikan definisi ilmu Hikmah yang disampaikan oleh para ulama di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu Hikmah itu ada sumbernya, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Keduanya merupakan referensi ilmu Hikmah yang sebenarnya. Apabila ada kitab-kitab lain yang mengajarkan ilmu hikmah, tapi ternyata bertentangan atau menyimpang dari al-Qur'an dan al-Hadits, berarti itu adalah ilmu Hikmah palsu atau gadungan. Apalagi kalau sumber ilmu itu berasal dari agama lain, diadopsi dari keyakinan dan syari'at lain, buah dari akulturasi budaya yang sarat mistik dan syirik, maka kita tidak boleh ikut­ikutan mempelajarinya. Jangan terpedaya dengan kemasan palsu yang mengatasnamakan ilmu Hikmah. Waspadalah!!!

Setiap kita bisa mempelajari sumber ilmu Hikmah, yaitu dengan mengkaji al-Qur'an dan as­-sunnah. Hanya saja daya serap otak kita, tingkat pemahaman kita, serta kemampuan kita untuk mengamalkan isi kandungannya, akan berbeda satu sama lainnya. Kitab al-­Qur'an dan al-Hadits yang kita pelajari, boleh sama. Tapi daya tangkap kita, dan akurasi pemahaman makna terhadap teks yang tertulis akan berbeda satu sama lain. Begitu juga kemampuan dalam mempraktikkan ilmu yang telah diketahui. Tidak semua orang yang membaca al-­Qur'an dan al-Hadits, serta ­merta memahami maknanya. Dari sekian orang yang paham maknanya, ternyata tidak semua mampu mempraktikkannya dalam perkataan dan perbuatannya. Kemampuan memahami secara mendalam terhadap al-­Qur'an dan as-Sunnah itulah anugerah yang besar dari Allah yang tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, begitu juga kemudahan dalam mengamalkannya. Apabila kita dianugerahi oleh Allah kemudahan dalam memahami agama ini dari sumbernya, dan kemampuan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan, serta mengajarkannya kepada yang lain, berarti kita termasuk hamba yang diberi ilmu Hikmah. Dan itulah anugerah Allah termahal dan terindah, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 269. Sehingga dengan ilmu itu perkataan dan perbuatan kita benar, sesuai dengan syari'at Islam.

Simaklah perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat dia menjelaskan tentang ilmu Hikmah yang sebenarnya. Imam an-Nawawi berkata, "Ilmu al-Hikmah adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum agama yang lengkap untuk mengenal Allah yang diiringi dengan tajamnya pikiran dan lembutnya jiwa serta mulianya akhlak. Merealisasikan kebenaran dan mengamalkannya, berpaling dari hawa nafsu dan kebathilan." [6]

Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyimpulkan bahwa makna al-Hikmah yang tepat adalah pemahaman yang mendalam terhadap kandungan kitab al­-Qur'an. Iman dan hikmah biasanya berdampingan, walaupun kadang terdapat juga hikmah yang tidak bersandingan dengan iman." [7]

Itulah wujud dari kemuliaan sejati, karena kita bisa menjadi hamba yang taat, dengan kemampuan kita untuk mengetahui perintah­-perintah-Nya lalu mentaatinya. Dan mengetahui larangan-larangan-Nya lalu menjauhinya. Itulah sifat hamba yang bertakwa dan berhak menjadi orang yang paling mulia. "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." Begitulah Allah menjelaskan standar kemuliaan sejati dalam surat al-Hujurat ayat 13.

Ilmu Hikmah Itu Anugerah
Dalam al-Qur'an disebutkan, "Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang­-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah)". (QS. al, Baqarah: 269).

Shahabat Ibnu Abbas berkata, "Yang dimaksud dengan al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah pengetahuan tentang al-Qur'an, seperti mengetahui naskh dan mansukhnya (ralat dan yang diralat), ayat muhkam dan mutasyabihnya (yang jelas dan yang samar), yang pertama dan yang terakhir, yang dihalalalkan dan yang diharamkan, dan yang semisalnya." Sedangkan Imam Qatadah, Abul `Aliyah, Imam Ntujahid, memaknai dengan a1-Qur'an dan kepahaman mendalam akan apa yang dikandungnya." [8]

Imam Ibnu Jarir at-Thabari menafsirkan al-Hikmah dalam ayat tersebut dengan, "Kebenaran dalam perkataan dan perbuatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang diberi kebenaran dalam perkataan dan perbuatan, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang sangat banyak." [9]

Imam al-Qurthubi berkata, "Asal makna Hikmah adalah apa saja yang dapat menghalangi datangnya kebodohan. Maka dari itu ilmu juga disebut hikmah, karena ia dapat menghalau kebodohan dan segala perbuatan buruk. Begitu juga al-Qur'an, akal dan pemahaman. Dalam riwayat Imam Bukhari dikatakan, "Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam masalah agama." Imam Bukhari berkata, "Barangsiapa yang diberi hikmah, maka ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan sering terulangnya kata al-Hikmah dalam al-Qur'an, tanpa menggunakan kata penggantinya, sebagai pertanda akan kemuliaan dan keutamaannya." [10]

Abdullah bin Mas'ud berkata, Rasulullah bersabda, "Tidak boleh hasud (ghibthoh), kecuali dalam dua hal. Iri kepada orang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia habiskan hartanya di jalan yang benar. Dan iri kepada orang yang diberi ilmu Hikmah oleh Allah, lalu ia praktikkan ilmu tersebut dan mengajarkannya (kepada yang lain)." [11]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al­-Asqalani berkata, "Yang dimaksud dengan hikmah dalam hadits tersebut adalah al-Qur'an berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar. Atau lebih umum dari itu, yaitu ilmu yang bisa menolak kebodohan dan menjauhkan pemiliknya dari keburukan[12]. Sedangkan yang dimaksud dengan hasad di sini adalah al-Ghibthah (keingi­nan agar bisa menjadi seperti orang yang dimaksud). [13]

Ilmu Hikmah yang sebenar­nya bersumber pada at-Qur'an dan al-Hadits. Yang menyimpang dari keduanya bukanlah ilmu Hikmah, tapi ilmu “salah”. Tinggalkan!


FOOTNOTE
[1] Kitab Risalah Asrorul `Amaliyyah: 64-65

[2] Majalah al­Kisah, no. 04/ 2006

[3] Kitab ar-Rahiqul -Makhtum: 204
[4] Kitab ar-Rahiqul Makhtum: 249

[5] Ustadz Hafi Suyanto Lc dan Perdana Akhmad S.Psi telah menulis buku berjudul “ Atraksi Debus Dalam Tinjawan Ilmiah dan Syari’ah “ Insya Allah sebentar lagi akan terbit.
[6] Kitab Faidhul Qadir: 3/ 416
[7] Kitab Fathul Bari: 7/205

[8] Kitab Tafsir at-Thabari: 3/ 39
[9] Kitab Tafsir at-Thabari: 3/ 89
[10] Kitab Tafsir al-Qurthubi: 3/330
[11] HR. Bukhari, no. 6608 dan Muslim, no. 1352
[12] Penjelasan ini sama dengan penjelasan Imam Nawawi dalam kitabnya Syarhul Muslim: 6/ 98
[13] Kitab Fathul Bari: 13/ 120



No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...