1/31/2008

Jaringan Iblis La'natullah (JIL)

Pada tanggal 16 April 2005 3 tahun lalu, berlangsung acara bedah buku di UIN
(alias IAIN) Jakarta. Buku yang dibedah berjudul "Ada Pemurtadan di
IAIN" karya Hartono Ahmad Jaiz. Pemrakarsa acara tersebut adalah
anak-anak JIL.

Hartono Ahmad Jaiz, sempat terkejut dengan banyaknya audiens yang
menghadiri acara ini. Jumlahnya seribu lebih. Dan yang lebih
mengagetkan lagi, massa yang banyak itu justru berasal dari luar UIN,
yaitu mereka yang kontra JIL. Tentu saja kehadiran mereka itu membuat
komunitas JIL (dan anak-anak UIN pro JIL) menjadi ciut.

Sayangnya, atau culasnya, moderator yang pro JIL tidak memberi
kesempatan kepada audiens untuk terlibat dalam tanya jawab. Meski
demikian, kedua `pakar' JIL kedodoran menghadapi Hartono Ahmad Jaiz
dan Muhammad At-Tamimi.

Kehadiran audiens yang kontra JIL dengan jumlah yang tak terduga itu,
nampaknya menunjukkan bahwa generasi muda Islam kita memang masih
banyak yang waras. Kedua, menunjukkan bahwa kontribusi para aktivis
Islam di internet (terutama komunitas PKS dan SHT) yang turut
mensosialisasikan adanya acara tersebut, ternyata cukup efektif.
Ketiga, ini merupakan pertolongan Allah SWT.

Sayangnya, ketika `cendekiawan dan misionaris JIL' ini keok –bahkan di
sarangnya sendiri– tidak ada satu pun media massa yang
mempublikasikannya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban kita untuk
mempublikasikan laporan pandangan mata di bawah ini yang disusun oleh
akh Abu Qori.

Mau Menyanggah Malah Kejeblos

Maksud hati mau menepis dan menyanggah isi buku Ada Pemurtadan di
IAIN, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para misionaris JIL itu
malah terperosok ke dalam kubangan yang mereka sediakan sendiri. Forum
bedah buku yang semula diharapkan dapat `membantai' Hartono Ahmad Jaiz
malah menjadi ajang pembuktian bahwa di IAIN memang ada pemurtadan.
Hujjah-hujjah yang diajukan para misionaris JIL itu justru secara
tidak langsung malah meneguhkan adanya proses pemurtadan di IAIN.
Acara bedah buku karya Hartono Ahmad Jaiz itu berlangsung di Masjid
Kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat
Jakarta, Sabtu 16 April 2005 bertepatan dengan tanggal 7 Rabi'ul Awwal
1426 Hijriah.

Tak dinyana, acara yang sepi promosi ini ternyata dihadiri 1000-an
peserta, sebagian besar justru berasal dari luar kampus UIN. Sehingga,
perhelatan yang semula dirancang bertempat di Fak Ushuluddin dan
Filsafat, karena tidak mampu menampung audiens, dipindahkan ke Masjid,
khususnya di lantai 2 dan 3.

Pembicara empat orang. Dua pembicara yang membuktikan adanya
pemurtadan di IAIN adalah Hartono Ahmad Jaiz (penulis buku yang
dibedah) dan Muhammad At-Tamimi dari Purwakarta Jawa Barat. Sedangkan
dua pembicara lainnya –yang tampaknya membawa misi untuk menepis
adanya pemurtadan di IAIN namun justru hujjah-hujjahnya menggunakan
pemahaman, materi, dan metode orang murtad– adalah Ulil Abshar Abdalla
kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Abdul Muqsith Ghazali MA
dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk penyusun CDL KHI (Counter
Draft Legal Kompilasi Hukum Islam) pimpinan Dr Musdah Mulia yang telah
dicabut Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan
Islam.

Acara berlangsung seru, ada pekik Allahu Akbar dan tepuk tangan
bertalu-talu, meski moderator sudah mengingatkan agar tidak bertepuk
tangan di dalam masjid.

Materi, pemahaman, dan metode yang ditempuh Muqsith dan Ulil justru
menambah bukti bahwa apa-apa yang ditulis di dalam buku Ada Pemurtadan
di IAIN terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta setebal 280 halaman itu,
memang benar adanya. Karena, hujjah-hujjah dan metode dua pembicara
yang pro IAIN dalam membantah buku itu memang diambil dari materi dan
pemahaman kelompok ataupun tokoh yang sudah dinyatakan kekufurannya
oleh para ulama.

Atau, mereka menggunakan pemahaman mereka sendiri yang tanpa dasar,
lalu sampai berani menolak hadits yang shahih, dan hukum Allah swt
dalam Al-Qur'an. Di samping itu masih disertai dengan
kebohongan-kebohongan untuk memberikan cap-cap sangat buruk kepada
penulis buku. Akibatnya, ketika kebohongan-kebohongan itu dibalikkan
oleh penulis buku, maka terkuaklah kesempurnaan bahwa produk dan
bahkan dosen IAIN yang dijagokan untuk membela IAIN justru lebih buruk
dari yang telah ditulis di buku itu.

Artinya, isi buku Ada Pemurtadan di IAIN tidak lebih seram dibanding
dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan, melalui forum bedah buku
tersebut.

Membela pemurtadan dengan pemahaman kufur

Jalan yang ditempuh Muqsith dan Ulil dalam membela IAIN ketika bedah
buku itu adalah:

1. Berbohong dalam rangka memberikan stigma sangat buruk kepada
penulis buku.

2. Membela kemurtadan atau kekufuran dengan faham kekufuran, dan
justru ditawarkan kepada penulis buku agar mempelajarinya. Bahkan
mereka meng-klaim bahwa di IAIN tidak ada pemurtadan, yang terjadi
sesungguhnya dalah proses adalah pluralisasi penafsiran. Dan yang
dijadikan hujjah adalah penafsiran orang-orang yang sudah divonis oleh
para ulama sebagai kafir ataupun zindiq yaitu Ikhwanus Shofa' dan Ibnu
`Arabi tokoh tasawuf sesat berfaham wihdatul adyan (menyamakan semua
agama) dan wihdatul wujud (satunya alam dengan Tuhan).

3. Melecehkan penulis –yang banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur'an
dan hadits Nabi– dengan tuduhan terlalu `memberhalakan' huruf-huruf
Al-Qur'an. Tuduhan itu didibalikkan oleh penulis: karena penulis
mengikuti Al-Qur'an, maka pada hari Jum'at ia pun melaksanakan shalat
Jum'at; sedangkan Ulil, justru leha-leha berseminar dengan orang
Kristen membahas tentang Tuhan di hari Jum'at dari jam 10 hingga 13
dan tidak shalat Jum'at, tandas Hartono Ahmad Jaiz sambil mengangkat
Majalah Gatra edisi 26 Februari 2005 yang memberitakan bahwa Ulil
tidak Shalat Jum'at.

4. Memberi cap buruk kepada penulis sebagai orang yang melanggar
prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an, karena penulis tak membolehkan nikah
beda agama. Penulis menguraikan tentang dosen-dosen IAIN, Dr Zainun
Kamal dan Dr Kautsar Azhari Noer, yang menikahkan wanita muslimah
dengan lelaki Nasrani, dan lelaki muslim dengan wanita Konghucu.
Pernikahan itu bertentangan dengan Al-Qur'an surat Al-Mumtahanah (60)
ayat 10 dan Al-Baqarah (2) ayat 221. Muqsith yang alumni dan dosen UIN
Jakarta justru membela dosen-dosen IAIN yang melanggar ayat-ayat itu
dan malahan memberi cap buruk kepada penulis buku. Maka, Muhammad
At-Tamimi dengan tegas menyatakan penolakan terhadap ayat itu sebagai
sikap orang gila yang berbicara agama tetapi dengan dalih "menurut saya".

5. Gagal memberikan cap buruk tentang akhlaq penulis dan isi
buku, karena tuduhan-tuduhan Muqsith dan Ulil itu tak sesuai fakta,
maka lebih drastis lagi, Muqsith membela ajakan dzikir dengan lafal
anjing hu akbar, dengan mengemukakan bahwa dzikir dengan lafal anjing
hu akbar pun kalau niatnya… (tidak jelas suara Muqsith karena suara
hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan maqamnya. Ungkapan itu
menjadikan para hadirin berteriak gemuruh, menyiratkan kejengkelan
karena justru keluar betul keaslian produk IAIN yang diangkat jadi
dosen ternyata seburuk itu pemikirannya dan keyakinannya. Bagaimana
lagi para mahasiswa asuhannya nanti.

6. Ulil berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui
bahwa hadits itu shohih, hanya karena keberanian menurut dirinya. Ulil
juga mengakui bahwa dirinya menulis di Kompas, tidak ada hukum Tuhan.
Maka Muhammad At-Tamimi menyebut Ulil sebagai orang gila pertama dan
Muqsith orang gila kedua. Karena Allah swt telah menurunkan wahyu
tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan. Ini jelas murtad, kufur.
Berbohong atau memutar balikkan

Kebohongan yang dilontarkan, di antaranya Muqsith mengemukakan bahwa
penulis buku ini sampai menulis: Si jompo Sinta Nuriyah. "Penulis ini
akhlaqnya masih akhlaq orang beriman atau tidak. Kalau orang beriman
tentunya tidak menulis seperti itu," kata Muqsith.

Kebohongan itu dijawab oleh Hartono Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di
buku Ada Pemurtadan di IAIN ini tidak ada tulisan yang bunyinya si
jompo. Yang ada hanyalah penjelasan tentang keadaan, yaitu yang sudah
jompo. Lantas, lanjut Hartono, "yang tidak berakhlaq itu yang mengubah
perkataan ini atau siapa?" Dan juga, "orang yang mengajak berdzikir
dengan lafal anjing hu akbar (di IAIN Bandung) malah dibela. Kemudian
orang yang tidak menulis si jompo dikatakan menulis si jompo dan
dianggap tidak berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu
dipertanyakan itu siapa."

Kebohongan yang kedua namun tidak sempat dibantah karena sempitnya
waktu, adalah perkataan Muqsith bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul
Kubro (karangan As-Sya'roni) disebutkan, menurut pendapat Imam Ahmad,
aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur (kemaluan depan dan belakang).
Perlu dikemukakan dalam tulisan ini, Muqsith yang dosen dan alumni UIN
Jakarta itu apakah ingin mengkampanyekan agar wanita-wanita di bumi
ini bertelanjang atau bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN itu
telah menyembunyikan sesuatu.

Dalam kitab Mizanul Kubro itu ada wanita merdeka (al-hurroh) dan
wanita budak (al-ammah). Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya,
kecuali mukanya dan kedua telapak tangannya, menurut pendapat Malik,
Syafi'i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Menurut Abu
Hanifah, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali mukanya, dua
telapak tangannya, dan dua telapak kakinya. Riwayat lain dari Ahmad,
(seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali mukanya saja. (Al-Mizanul
Kubro Juz 1, halaman 170, cetakan I, Darul Fikr Beirut, dalam hal
syarat sahnya sholat tentang menutup aurat).

Aurat wanita budak (al-ammah) dalam sholat adalah antara pusarnya dan
lututnya seperti aurat laki-laki. Ini menurut pendapat Malik, Syafi'i,
dan salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang lain bahwa
auratnya (wanita budak/al-ammah) adalah qubul dan dubur saja. (ibid).
Dalam Kitab Mizanul Kubro itu dijelaskan, yang diamalkan oleh salafus
sholih adalah yang pertama (aurat budak wanita, antara pusar dan
lutut) karena tidak adanya syahwat untuk melihat budak wanita di luar
sholat, lebih-lebih ketika sholat. (ibid).

Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro bab shalat itu dikutip
pendapatnya bahwa aurat wanita merdeka (al-hurrah) adalah seluruh
tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangannya atau bahkan seluruh
tubuh kecuali muka saja.

Perlu dijelaskan kebohongan Muqsith dengan kenyataan, bahwa wanita
sekarang, pengertiannya ya wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok
bisa-bisanya Muqsith Ghozali dosen dan alumni UIN Jakarta ini
mengatakan bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kibro, berpendapat
bahwa aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur. Itulah cara berbohong
untuk mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian mereka sudah
memperlihatkan pusarnya itu agar lebih bertelanjang lagi.

Kebohongan ketiga, Muqsith menganggap Hartono Amad Jaiz melanggar
prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an, karena Hartono mengharamkan nikah
beda agama.

Perkataan itu sendiri sudah menyembunyikan sesuatu. Dalam buku itu
sudah ditulis, yang dipersoalkan adalah wanita muslimah dinikahi
lelaki kafir, Non Islam,Yahudi-Nasrani dan lainnya. Juga lelaki Muslim
menikahi wanita Konghucu. Lalu Muqsith mengatakan bahwa tidak ada ayat
yang mengharamkan nikah beda agama. Itu juga menyembunyikan ayat,
hingga dibantah dengan seru oleh seorang pemuda/mahasiswa secara
spontan dengan mengacungkan Al-Qur'an.

Kalau Muqsith tidak menolak Al-Qur'an, tentunya mau mengakui, Ayatnya
sudah jelas, QS 60: 10, QS 2: 221, dan tentang kafirnya Ahli Kitab
dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6. Dengan cara menyembunyikan ayat,
hingga justru menghalalkan nikah beda agama (seperti yang telah
disebutkan itu) adalah satu bukti justru adanya faham yang dihembuskan
dari UIN Jakarta adalah yang menentang ayat Al-Qur'an itu.
Membela kekufuran dengan kekufuran

Lebih nyata lagi ketika Muqsith membela IAIN dengan faham kekufuran.
Yaitu kilah bahwa IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi
penafsiran. Lalu yang diangkat sebagai contoh adalah faham Ikhwanus
Shofa' yang tidak perlu melaksanakan yang fardhu-fardhuib-wajib
dan cukup dengan bertasbih.

Hartono Ahmad Jaiz membalikkan kepada Muqsith, justru faham yang tidak
perlu mengerjakan yang fardhu-fardhuib-wajib itulah yang
sebenar-benarnya kekafiran. Dan itu sudah dikemukakan kekafirannya
dalam Kitab Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu'
Al-Fatawa.

Yang dimaksud Hartono itu adalah apa yang ditulis Imam Al-Qurthubi
yang dimulai dengan menukil ulasan gurunya, al-Imam Abu al-'Abbas,
mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukumi sebagai zindiq yaitu:
"Mereka itu berkata: Hukum-hukum syara' yang umum adalah untuk para
nabi dan orang awam. Adapun para wali dan golongan khusus tidak
memerlukan nas-nas (agama), sebaliknya mereka hanya dituntut dengan
apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa
yang terlintas dalam fikiran mereka.

" Golongan ini juga berkata: "Inidisebabkan kesucian hati mereka dari
kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi,
hakikat-hakikat ketuhanan,mereka mengikuti rahasia-rahasia alam,
mereka mengetahui hukum-hukumyang detil, maka mereka tidak memerlukan
hukum-hukum yang bersifat
umum, seperti yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi baginya (Khidir)
ilmu-ilmu yang terbuka (tajalla) kepadanya dan tidak memerlukan apa
yang ada pada kefahaman Musa." Golongan ini juga menyebut: "Mintalah
fatwa dari hatimu sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para
penfatwa."

Selanjutnya al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata:
"Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur,
dibunuhlah siapa pun yang mengucapkannya dan dia tidak diminta
taubatnya, karena dia telah ingkar terhadap apa yang diketahui dari
syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalan-Nya dan
melaksanakan hikmah-Nya bahwa hukum-hukum-Nya tidak diketahui
melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan
antara Allah dan makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah dan
perkataan-Nya serta pengurai syariat dan hukum-hukum. Allah memilih
mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka."

"Telah menjadi ijma' salaf dan khalaf bahwa tidak ada jalan mengetahui
hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan suruhan dan larangan-Nya
walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Maka siapa yang
berkata "Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan
Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul" maka
dia adalah kafir, dihukum bunuh tidak diminta bertaubat, dan tidak
diperlukan untuk tanya jawab dengannya (al-Jami' li Ahkam al-Quran
jilid 11, halaman 40-41, cetakan Dar al-Fikr, Beirut).

Gejala Pemurtadan di IAIN

Hartono Ahmad Jaiz menguraikan gejala-gejala pemurtadan di AIN, di
antaranya buku Harun Nasution untuk IAIN berjudul Islam Dipandang dari
Berbagai Aspeknya menyatakan bahwa agama monotheisme itu Islam,
Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu. Juga buku Sejarah
Pembaharuan Pemikiran Islam tulisan Harun Nasution untuk IAIN diantara
isinya menyebut Rifaat At-Tahtawi (Mesir) sebagai pembaharu, dan
bahkan dalam makalah dosen IAIN di bawah bimbingan Harun Nasution di
SPS (Studi Purna Sarjana) di IAIN Jogja 1977, Rifaat At-Tahtawi yang
menghalalkan dansa-dansa laki perempuan disebut sebagai pembuka pintu
ijtihad. Ini adalah penyesatan. Mana ada pembaru dalam Islam
menghalalkan yang haram. Padahal dalam hadits, ada potensi zina bagi
mata, tangan, mulut, hati dan dibenarkan atau dibohongkan oleh farji/
kemaluan kata Hartono.

Hal itu dibantah Abdul Muqsith Ghozali dengan kitab I'anatut Tholibin
terbitan Toha Putra Semarang, dengan dibacakan tentang definisi zina,
lalu Muqsith mengatakan, kalau hasyafah (kemaluan lali-laki) ditekuk
maka bukan zina. Begitu juga dengan tangan.

Hartono menjawab, "bagaimana ini, tentang zina, tangan punya potensi
zina itu saya mengutip hadits Nabi saw. Kenapa hadits Nabi dibantah
pakai kitab I'anatut Tholibin? Ya seperti inilah keluaran dari IAIN,"
tegas Hartono dengan menuding Muqsith yang di sebelah kanannya.
Attamimi dengan suara lantang menantang Ulil Abshar Abdalla yang
menolak hadits, yang walaupun shohih di kitab Bukhori, namun menurut
Ulil tidak sesuai, maka ulil menolaknya. Contohnya hadis tentang orang
sholat jadi batal karena adanya yang lewat yaitu anjing, orang
perempuan, dan khimar/keledai. Kata Ulil, "di sini perempuan disamakan
dengan anjing dan keledai. Jadi saya tolak, walaupun itu ada di Kitab
Shohih Bukhori," kata Ulil.

Kata At-Tamimi, "apakah anda ini ahli hadits? Apa keahlian anda. Dalam
hal ilmu agama ini tidak bisa hanya dengan perkataan `pendapat saya'.
Di ilmu teknik dunia saja tidak bisa dengan `pendapat saya' . Memang
anda ahli apa? Apakah ahli hadits? Saya tantang anda bicara tentang
hadits. Bahkan kumpulkan seluruh orang JIL, cukup saya hadapi
sendirian. Tidak bisa bicara agama kok `menurut saya', `menurut saya'.
Bukan hanya perempuan yang disamakan dengan binatang, semua laki-laki
yang tidak percaya kepada Al-Qur'an dan As-sunnah seperti anda ini
dinyatakan dalam Al-Qur'an seperti binatang," seru At-Tamimi dengan
lantang, disambut dengan suara gemuruh hadirin.

Dua orang yang membela IAIN dan ingin merobohkan fakta pada buku Ada
Pemurtadan di IAIN itu setelah gagal memberikan cap-cap buruk karena
dibalikkan dengan telak, maka justru menolak hukum Allah (sebagian
ditentang, dan bahkan dinyatakan tidak ada hukum Tuhan), dan menolak
hadits walaupun diakui shahih.

Di situ justru pada dasarnya mereka menampakkan tambahan bukti yang
ada pada ungkapan-ungkapan mereka sebagai alumni, dosen dan pembela
IAIN bahwa sebenarnya IAIN memang jelas ada pemurtadan. Jadi, mereka
mau menepis Adanya pemurtadan di IAIN tetapi justru terperosok pada
penguatan bahwa memang benar ada pemurtadan di IAIN secara sistematis.
Itu tentu saja sangat berbahaya.

Buku Ada Pemurtadan di IAIN dibedah pertama kali di Islamic Book Fair
di Istora Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret 2005. Pembicara Dr Roem Rowi
dosen pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen tafsir; dan
penulis buku Hartono Ahmad Jaiz. Hadirin sekitar 500 orang. Dr Roem
Rowi mengakui, di IAIN dia mengajar tafsir, namun mahasiswanya dirusak
oleh pemikiran-pemikiran yang diajarkan dalam materi pemikiran Islam
(dan sejarah kebudayaan Islam), yang itu justru materi kuliah dasar,
semua mahasiswa harus ikut.

Sehingga, ketika ditanya peserta bedah buku, ke mana untuk mendidikkan
anak di perguruan tinggi yang islami, Dr Roem Rowi tidak memberikan
rekomendasi, hanya menunjuk di antaranya Universitas Islam
Internasional di Malaysia. Sedangkan ketika ditanya tentang kurikulum,
seberapa peran menteri agama dalam membuat kurikulum di IAIN, Roem
Rowi menjawab, menteri agama masa lalu ya hanya mengikuti Dr Harun
Nasution. "Seakan perkataan Harun Nasution itu qoululloh (firman
Alloh) bagi menteri agama yang lalu," ujar Roem Rowi yang meraih gelar
doktornya dari Universitas al-Azhar Mesir ini.

Disebut Ada Pemurtadan di IAIN, menurut buku itu, karena kurikulumnya,
materi kuliahnya, sistem pengajarannya, cara mengajarnya, dan
dosen-dosennya banyak yang tidak sesuai dengan sistem pemahaman Islam
yang benar. Tidak merujuk kepada Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan manhaj
salafus shalih. Tetapi yang dijadikan mata kuliah dasar justru sejarah
pemikiran Islam dan sejarah kebudayaan Islam, yang semuanya bukan
dasar Islam, dan disampaikan tidak secara ilmu islami, tidak merujuk
kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan sistem pemahaman yang benar.
Diajarkan secara liar, yaitu tanpa sanad (pertalian riwayat) hingga
boleh berkomentar apa saja sampai menghina para sahabat sekalipun.
Akibatnya, alumni IAIN tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab
(yang perbedaannya itu dalam wilayah furu'/ cabang, jadi boleh saja)
dengan sekte-sekte sesat (firoq dhollah) yang sudah berbeda dengan hal
pokok yang benar. Bahkan sampai tak bisa membedakan antara mukmin
dengan kafir, ketika diajari tasawuf falsafi dan apa yang disebut
filsafat Islam (semuanya dalam materi kuliah sejarah pemikiran Islam
dalam mata kuliah dasar). Akibatnya, mereka menyamakan semua agama.
Itulah sebenar-benarnya pemurtadan secara sistematis lewat jalur
perguruan tinggi Islam se-Indonesia baik negeri maupun swasta. Maka
kurikulum, sistem pengajaran, materi, metode, dan dosen pengajarnya
perlu ditinjau ulang. Pembelajaran dosen-dosen IAIN ke Barat untuk
studi Islam pun perlu dihentikan, menurut penulis buku, karena itu
menjadi sumber utama pemurtadan tersebut.

Usai bedah buku di UIN Jakarta, hadirin pun berjama'ah shalat dhuhur,
tanpa ada dosen ataupun mahasiswa UIN yang maju jadi imam, hingga
Ustadz Mustofa Aini seorang hadirin alumni Universitas Islam Madinah
maju untuk mengimami setelah agak lama ditunggu-tunggu tak ada yang
maju. Ulil, Muqsith dan sebagian besar panitia dari BEM Fak
Usuhuluddin dan Filsafat UIN Jakarta tidak tampak ikut shalat
berjama'ah. Mereka berada di mihrab sebelah imaman. Kemudian Ulil
diiringi para panitia turun dan pulang setelah hadirin yang shalat
berjama'ah telah bubar pulang.

"Kampus Islam tidak mencerminkan Islam," keluh di antara yang hadir.




No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...