Syari’ah mencakup semua yang berkaitan dengan cara bagaimana berperilaku –yang dinamakan far’iyyah dan ‘amaliyyah- dalam kerangka ini ilmu fiqih dibukukan. Syari’ah juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana cara beraqidah, yang disebut dengan ashliyyah wa i’tiqadiyyah dan dalam kerangka inilah ihnu ushul dibukukan– Ushuluddin- yang sering disebut Ilmu Kalam.
Islam adalah aqidah dan syari’.ah. Jika inti dari aqidah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dengan ‘ubudiah dan mengesakan dalam dzat, sifat, dan perbuatan (af’al), maka syari’ah adalah semua rambu, pesan, hukum, nilai dan moralitas yang dibawa oleh Islam agar Muslim dapat berjalan lurus pada petunjuk dan minhaj yang mengantar pada: pencapaian agidah agama. Dengan demikian, syari’ah mencakup ibadah, muamalah, dan nilai-nilai baik yang ditemukan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ahkam maupun dalam ayat-ayat dan haditshadits lainnya. Bahkan kisah yang ditampilkan oleh al-Qur’an, atau yang diserukan agar diamati, direnungkan dan dipikirkan, adalah merupakan sumber-sumber untuk menampilkan secara singkat tentang rambu-rambu yang masuk dalam bangunan syari’ah dan menara-menara yang ada di jalannya yang meluruskan Muslim pada jalan aqidah Islam.
Islam adalah aqidah dan syari’.ah. Jika inti dari aqidah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dengan ‘ubudiah dan mengesakan dalam dzat, sifat, dan perbuatan (af’al), maka syari’ah adalah semua rambu, pesan, hukum, nilai dan moralitas yang dibawa oleh Islam agar Muslim dapat berjalan lurus pada petunjuk dan minhaj yang mengantar pada: pencapaian agidah agama. Dengan demikian, syari’ah mencakup ibadah, muamalah, dan nilai-nilai baik yang ditemukan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ahkam maupun dalam ayat-ayat dan haditshadits lainnya. Bahkan kisah yang ditampilkan oleh al-Qur’an, atau yang diserukan agar diamati, direnungkan dan dipikirkan, adalah merupakan sumber-sumber untuk menampilkan secara singkat tentang rambu-rambu yang masuk dalam bangunan syari’ah dan menara-menara yang ada di jalannya yang meluruskan Muslim pada jalan aqidah Islam.
Syari’ah disamping mencakup hukum-hukum juz’iyyah yang menjadi petunjuk bagi manusia mukallaf dalam setiap masalah dan bidang kehidupan duniawi maupun akhirat, syari’ah juga mencakup hukum-hukum yang kembali kepada ketetapan-ketetapan teks yang berkonsekuensi hukum syari’ah (nushush syar’iyyah). Dengan aturan yang telah digariskan oleh Syari’ (pernbuat syari’at) itu, syari’ah mencakup “lakukan” dan “jangan lakukan” yang diambil dari nash agama yang sharih (eksplisit) dan juga yang diambil dari isyarat pengertiannya.
Dalam hubungan antara syari’ah dan millah ditemukan bahwa syari’ah yang merupakan hukum-hukum juz’iyyah (terperinci) juga dipakai untuk prinsip-prinsip umum seperti iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya secara majazi (alegoris). Sedangkan millah dipakai untuk prinsip-prinsip dalam arti yang sebenamya dan jika dipakai pada furui’yyah dan hukum-hukum juz’iyyah maka pemakaian ini secara majazi.
Prinsip-prinsip ini, yaitu millah dan risalah semua nabi bersatu didalamnya. Sedangkan dalam hal syari’ah terdapat perbedaan didalam risalah-risalah ini, yaitu dalam hukum-hukum juz’iyyah.
Jika syari’ah adalah jalan syari’ yang rambu-rambunya serta hukum-hukumnya, mengantar pada keyakinan pada prinsip-prinsip iman, maka kata syir’ah adalah permulaan jalan ini atau agama itu sendiri. Sedangkan minhaj adalah jalan yang jelas, atau, ia adalah dalil, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan yang terang (minhaj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah tempat kembali kamu selamanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (al-Maa’idah: 48)
Menurut riwayat dari ibnu ‘Abbas ra, kata syir’ah dalam ayat tersebut adalah apa yang diajarkan al-Qur’an, sedangkan minhaj adalah apa yang diajarkan oleh sunnah.
Dalam syari’ah Islam telah masuk –sebagai syari’ah penutup– hukum-hukum juz’iyyah yang ada dalam syari’at-syari’at umat terdahulu yang ditetapkan oleh Islam, lalu menjadi bagian dari syari’ah risalah Muhammad, sesuai dengan kaidah: syari’ah umat sebelum Muhammad saw adalah syari’ah Islam selama belum dihapus. Dalam syari’ah Islam juga terdapat hukum-hukum juz’iyyah yang dahulu dikenal dalam masa jahiliah yang merupakan sisa-sisa syari’ah sebelumnya, atau yang datang sebagai buah dan hikmah yang dipegang oleh manusia secara turun temurun, lalu ditetapkan Islam karena kesesuaiannya dengan filsafat hukum Islam. Hal mi terjadi disebabkan karena bertolak dari kenyataan bahwa risalah penutup ini telah datang dengan membenarkan dan menegaskan warisan nubuwat dan syari’at-syari’at sebelumnya serta menyempurnakan akhlaq mulia.
Karena syari’ah Islam adalah penutup dan ia besifat universal karena keuniversalan Islam. Maka dalam masalah hukum peristiwa-peristiwa yang berubah dan berkembang, syari’ah Islam menawarkan aturan umum dan filsafat hukum, untuk senantiasa membuka jalan bagi fiqih Islam mengembangkan hukum yang mengiringi perubahan jaman serta memberi jawaban atas tuntutan modernitas. Sedangkan dari sisi lain syari’ah Islam telah menjelaskan secara rinci ketetapan-ketetapan yang mewakili kebutuhan-kebutuhan manusia yang tidak ‘berubah dengan perubahan jaman dan tempat seperti dharurat alkhams: memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan nasab, serta harta; dan seperti kebutuhan akan nilai. Dengan demikian syari’ah memadukan antara filsafat Islam tentang hukum dan perundang-undangan dengan perkembangan fiqih, hukum masalah-masalah furui’yyah serta hal-hal yang bersifat berubah. Inilah muatan ruh syari’ah yang tidak dapat dipisahkan dari Islam, batas-batas ketentuan Allah didalamnya, serta filsafat Islam mengenai hukum.
Dalam syari’ah Islam, nilai-nilai dan tujuan tujuan moral berkaitan dengan hukum. Maka maslahat di dalamnya berbeda dengan pertimbangan legal dan tidak lepas dari nilai-nilai dan moral seperti halnya yang terjadi dalam sistem hukum Romawi dan Latin yang hanya mengarahkan pada pencapaian maslahat bagi manusia dalam pengertian duniawi dan mengesampingkan moral. Sebab titik tolak sistem hukum buatan manusia adalah alam dan realitas yaitu alam rill dan hakikat serta aturan ilmunya. Sedangkan titik tolak fiqih Islam di bidang muamalat menuju pada alam gaib dan wahyu ilahi serta syari’at samawi.
Begitu pula dalam kriteria baik atau buruk, sister hukum buatan manusia, mengacu hanya pada penilaian akal murni serta pengalaman empirik indrawi. Sedangkan minhaj Islam menambahkan pada kriteria-kriteria baik atau buruk ini dengan kriteria syara’ dengan kerangka maupun perintahnya. Yang demikian itu berangkat dari keistimewaan visi Islam tentang kedudukan manusia sebagai pemilik akal dan pengalaman empirik. Di alam ini manusia adalah khalifah Allah dalam tugas memakmurkan bumi ini; akal dan pengalaman empiriknya diatur � karena pengetahuan yang dicapai bersifat nisbi � dengan batas-batas dan hak-hak Allah, dan dengan ilmu ilahi yang bersifat kulli, mutlak dan menyeluruh.
Syari’ah Islam tetap —dalam perkembangan dan sejarah peradaban umat Islam— menjadi referaisi dan pegangan bagi umat dalam sistem peradilan, fiqih, ijtihad para mujtahid, pembaruan para tokoh mujaddid, tanpa mencari referensi lainnya sejak kedatangan Islam hingga kedatangan sistem hukum buatan manusia –yang memiliki kandungan filsafat hukum Barat– ke dalam banyak negeri Muslim bersamaan dengan pengaruh :dan serbuan imperialisme Barat modern terhadap dunia Islam, sehingga menempatkan syari’ah Islam dan fiqihnya pada posisi didesak di banyak institusi hukum majlis legislatif, dan lembaga peradilan. Oleh sebab itu, dakwah untuk mengembalikan syari’ah Islam sebagai referensi satu-satunya dalam kehidupan Islam menjadi salah satu tujuan kebangkitan Islam modern, dengan menuntut bagi pembebasan akal dan realitas Islam dari infiltrasi sistem hukum asing mi yang bertentangan –dalam banyak hal– dengan sistem Islam tentang hukum dan perundang-undangan.
Begitu juga dakwah bagi ijtihad modern dengan deduksi, dari prinsip-prinsip syari’ah, hukum-hukum atas persoalan-persoalan baru yang muncul dalam realitas kehidupan Muslim, menjadi tuntutan lain yang dibutuhkan oleh umat yang menghendaki aturan syari’ah, untuk menggeluti realitas baru dengan fiqih Islam yang baru. Barangkali yang banyak membantu hal ini adalah merekontruksi perundang-undangan secara modern atas warisan fiqih Islam klasik di bidang aturan muamalat. Maka dengan demikian akan memberi kekayaan hukum yang sangat bernilai dalam format sistem hukum modern dan mapan yang bisa menutupi kesenjangan besar serta menggerakkan intelektualitas Muslim untuk melakukan ijtihad modem yang merumuskan hukum bagi realitas modern itu yang belum dikenal oleh para ulama terdahulu.
Demikian pula halnya dengan kebutuhan pengklasifikasian sumber-sumber fiqih dan pembaharuan ilmu ushul fiqih yang semuanya adalah tugas dan tujuan pokok untuk mewujudkan pengembalian syari’ah Islam pada satu-satunya sumber rujukan dalam institusi hukum, majelis legislatif, serta lembaga peradilan di Dunia Islam.
Kutipan dari: Musthalah Maufur, MA. (penterjemah). Perang Terminologi Islam versus Barat. Jakarta. Robbani Press, 1998.
(buku asli: Dr. Muhammad �Imarah. Ma�rakatul Mushthalahat baina al-Gharbi wal Islami)
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...