1/31/2008

Rasul Baru Itu Al-Masih Al-Maw’ud, (Menyingkap Kesesatan Al-Qiyadah Al-Islamiyah)

‎Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin


Sebuah ‘agama’ baru telah lahir di Indonesia. Nabinya orang Indonesia, kitabnya juga berbahasa Indonesia. Yang bikin bingung, namanya berbau Islam namun ajarannya Kristen. Sebuah upaya pemurtadan?


Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sebuah gerakan yang memiliki pemahaman bahwa kini telah ada orang yang diutus sebagai rasul Allah. Orang yang dimaksud, menurut kelompok ini, adalah Al-Masih Al-Maw’ud. Dia dilantik menjadi rasul Allah pada 23 Juli 2006 di Gunung Bunder (Bogor, Jawa Barat). Itu terjadi setelah sebelumnya Al-Masih Al-Maw’ud bertahannuts dan pada malam ketigapuluh tujuh, tiga hari menjelang hari keempatpuluh bertahannuts, dirinya bermimpi dilantik dan diangkat menjadi rasul Allah disaksikan para sahabatnya. Katanya, “Aku Al-Masih Al-Maw’ud menjadi syahid Allah bagi kalian, orang-orang yang mengimaniku... Selanjutnya bagi kaum mukmin yang mengimaniku agar menjadi syahid tentang kerasulanku kepada seluruh umat manusia di bumi Allah ini, seperti halnya murid-murid Yesus, tatkalah Yesus berbicara kepada murid-muridnya maka murid-muridnya itu segera melaksanakan perintahnya.” (Ruhul Qudus yang turun kepada Al-Masih Al-Maw’ud, edisi I, Februari 2007, oleh Michael Muhdats, hal. 178)

Selain itu, kelompok ini memiliki pemahaman tidak ada ketentuan untuk menunaikan shalat wajib lima waktu. Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dinyatakan sebagai orang-orang musyrik. Mereka menolak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencukupkan diri hanya pada Al-Qur`an. Itupun dengan penafsiran (pada ayat-ayat Al-Qur`an tersebut) berdasar ra`yu (akal) mereka, terutama akal Al-Masih Al-Maw’ud. Tanpa kaidah-kaidah penafsiran yang baku sebagaimana dipahami para ulama dari kalangan salafush shalih. Mereka memiliki lafadz syahadatain tidak seperti yang diikrarkan dan diyakini kaum muslimin. Lafadznya berbunyi: “Aku bersaksi bahwa tiada yang hak untuk diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa anda Al-Masih Al-Maw’ud adalah utusan Allah.” (idem, hal. 191)

Bila seseorang melakukan ibadah tanpa mengikuti rasul setelah Muhammad, yaitu Al-Masih Al-Maw’ud, maka tidak akan diterima ibadahnya. (idem, hal. 175)

Bagi mereka, Islam yang sekarang ini sudah tidak sempurna. Mereka berkeyakinan bahwa ajaran yang dibawa Moses, Yesus, dan Ahmad adalah sama karena memiliki sumber ajaran yang sama pula (dari Allah). Bahkan kata mereka, di dalam ajaran Islam ada konsep trinitas sebagaimana dalam ajaran Kristen. Mereka tidak segan-segan untuk menyatakan: “Sebetulnya ajaran Yesus sama dengan ajaran Islam.” Para anggota kelompoknya pun diberi atribut nama yang berbau Kristen, seperti asal namanya Muhammad, lalu ditambahi dengan nama Kristen menjadi Muhammad Joseph.



Dalam sejarah perkembangan Islam, adanya orang yang mengaku dirinya sebagai utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau nabi, tidak satu atau dua kali saja. Tidak pula terjadi pada masa kini saja. Semenjak para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, orang yang mengaku sebagai nabi juga ada. Sebut misalnya, Al-Aswad Al-‘Ansi di Yaman dan Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah. Sudah sepantasnya bila Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tasfir-nya menegaskan bahwa siapapun yang mengaku sebagai seorang nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini, layak baginya untuk disebut pendusta. Kata Ibnu Katsir rahimahullahu, “Allah tabaraka wa ta’ala sungguh telah mengabarkan dalam Kitab-Nya dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam As-Sunnah Al-Mutawatirah tentangnya, (bahwa) ‘Sesungguhnya tidak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Sungguh kalian telah mengetahui pula, bahwa setiap yang mengaku berkedudukan (sebagai nabi) ini setelah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu pendusta, pembohong, dajjal, sesat menyesatkan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullahu, 3/599)

Saat memberi tafsir terhadap ayat:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu mengungkapkan bahwa khatamun nabiyyin (penutup para nabi) adalah yang menutup nubuwah (kenabian). Maka telah ditentukan tabiat atas kenabian bahwa tidak dibuka bagi seorang pun (menjadi seorang nabi, pen.) setelah kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. (Tafsir Ath-Thabari, 19/121)

Sedangkan menurut Ibnul ‘Arabi rahimahullahu dalam Ahkamul Qur`an (3/473) dan Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Fathul Qadir (4/376), bahwa khatamun nabiyyin adalah akhir mereka (para nabi, pen.).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu, saat menjelaskan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu tentang i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah kematian dan qadar-Nya yang baik dan yang buruk, menyatakan bahwa akhir mereka (para rasul, pen) adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ

“Dan akan tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40)

tidak dikatakan ‘wa khatama al-mursalin’ (penutup para rasul, pen.) karena sesungguhnya apabila (disebutkan, pen.) ‘khatama an-nubuwah’ (penutup kenabian) tentu ‘khatama ar-risalah’ (penutup kerasulan) lebih utama. Jika dipermasalahkan, bagaimana dengan Isa ‘alaihissalam yang akan turun di akhir zaman, bukankah dia seorang rasul? Maka jawabnya, Isa ‘alaihissalam tidak akan turun membawa syariat baru. Dia akan berhukum dengan syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 42-43)

Juga disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)

dan firman-Nya:

اللهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)

Ini merupakan ayat yang menjadi nash bahwa sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak ada lagi rasul setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sesuatu hal yang lebih utama dan pantas. Sebab, kedudukan kerasulan (ar-risalah) lebih khusus daripada kedudukan kenabian (an-nubuwwah). Maka setiap rasul adalah nabi, namun tidak setiap nabi adalah rasul. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad dari Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَثَلِي فِي النَّبِيِّيْنَ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا فَأَحْسَنَهَا وَأَكْمَلَهَا وَتَرَكَ فِيْهَا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ لَمْ يَضَعْهَا فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوْفُوْنَ بِالْبُنْيَانِ وَيَعْجِوُنَ مِنْهُ وَيَقُوْلُوْنَ: لَوْ تَمَّ مَوْضِعَ هَذِهِ اللَّبِنَةِ! فَأَنَا فِي النَّبِيِّيْنَ مَوْضِعُ تِلْكَ اللَّبِنَةِ

“Perumpamaan aku di kalangan para nabi seperti seorang yang membangun rumah. Maka dia membaguskan dan menyempurnakan semaksimal mungkin. (Namun) ternyata ada satu batu bata yang tertinggal, belum terpasang pada bangunan tersebut. Maka orang-orang pun mengelilingi bangunan tersebut dan merasakan keheranan melihat hal itu. Mereka berucap, ‘Andai satu batu bata itu terpasang, sempurnalah (bangunan itu).’ Maka akulah, di kalangan para nabi, yang menjadi sebuah batu bata yang dipasangkan tersebut.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu) [Lihat Mukhtashar Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim Al-Musamma ‘Umdatut Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibnu Katsir, Ahmad Muhammad Syakir rahimahullahu, hal. 55)

Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala telah memilih Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwah-Nya, bahkan secara khusus dengan risalah-Nya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur`an kepadanya dan memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur`an itu kepada segenap manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)

Karena itu, untuk memahami Al-Qur`an sangat diperlukan sekali Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pesan-pesan Al-Qur`an bisa ditangkap secara tepat arah dan maksudnya. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu memberikan ilustrasi contoh yang cemerlang sekali tentang betapa urgennya kedudukan As-Sunnah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an. Beliau rahimahullahu memberikan contoh sebagai berikut:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Ma`idah: 38)

Maka, terkait perihal pencuri masih bersifat mutlak. Demikian halnya dengan kata tangan. Dalam hal ini, As-Sunnah al-qauliyyah (berupa ucapan) menjelaskan tentang ketentuan (kaidah) nilai barang yang dicuri sehingga menjadikan pelakunya dipotong tangan. Berdasarkan As-Sunnah, pencurian senilai seperempat dinar atau lebih terkena hukum potong tangan, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ قَطْعَ إِلاَّ فِيْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا

“Tidak ada pemotongan (tangan) kecuali (atas kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih.” (Muttafaqun alalih)

As-Sunnah menjelaskan pula melalui perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat serta melalui taqrir (persetujuan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pemotongan tangan seorang pencuri adalah pada pergelangan tangan.

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ

“Maka usaplah mukamu dan tanganmu.” (Al-Ma`idah: 6)

Yang dimaksud tangan di sini adalah telapak tangan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ

“Tayammum itu sekali tepukan ke wajah dan dua telapak tangan.” (HR, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan selainnya dari hadits ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhuma)

Contoh lain adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)

Pada saat itu, para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memahami ayat tersebut dengan kezhaliman yang bersifat umum, yang meliputi semua jenis kezhaliman, meski hanya kecil saja. Akibatnya mereka mempertanyakan ayat ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak mencampuradukkan imannya dengan kezhaliman?”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Bukan seperti itu. Sesungguhnya yang dimaksud ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (Luqman: 13) [HR. Al-Bukhari dan Muslim serta selainnya]

Dari apa yang telah dijelaskan di depan, maka betapa teramat sangat pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam. Dengan memerhatikan contoh-contoh di muka, dan banyak lagi contoh perkara yang tidak bisa disebutkan di sini, sampailah pada keyakinan bahwa tidak ada jalan ke pemahaman Al-Qur`an yang benar-benar shahih kecuali dengan menyertakan As-Sunnah. (Manzilatu As-Sunnah fil Islam wa Bayanu Annahu La Yustaghna ‘anha bil Qur`an, Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu, hal. 7-9)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu dalam mukadimah Tafsir-nya menyatakan tentang kaidah menafsirkan Al-Qur`an. Kata beliau:

1. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Metodologi ini merupakan yang paling shahih (valid).

2. Menafsirkan Al-Qur`an dengan As-Sunnah. Karena As-Sunnah merupakan pensyarah dan menjelaskan Al-Qur`an.

3. Menafsirkan Al-Qur`an dengan perkataan para shahabat.

Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, bila tidak didapati tafsir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para shahabat. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi.

4. Bila tidak didapati cara menafsirkan dengan ketiga metode di atas, maka menafsirkan Al-Qur`an dengan pemahaman yang dimiliki para tabi’in (murid-murid para shahabat). Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata, “Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan.” Mujahid rahimahullahu adalah seorang tabi’in.



Fenomena memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku sebagaimana dipahami salafush shalih, kini nampak mulai marak. Ini sebagaimana diungkap Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu: “Didapati pada sebagian penafsir dan penulis dewasa ini yang membolehkan makan daging binatang buas atau memakai emas dan sutera (bagi laki-laki) dengan semata bersandar kepada Al-Qur`an. Bahkan dewasa ini didapati sekelompok orang yang hanya mencukupkan dengan Al-Qur`an saja (Al-Qur`aniyyun). Mereka menafsirkan Al-Qur`an dengan hawa nafsu dan akal mereka, tanpa dibantu dengan As-Sunnah yang shahih.” (Manzilatu As-Sunnah fil Islam, hal. 11)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma telah memberi peringatan:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur`an dengan ra`yu (akal) nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Ibnul Qayyim rahimahullahu, hal. 54)

Wallahu a’lam.



Modus Penyebaran Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah



1. Para da’inya biasanya membawa Al-Qur`an ke mana-mana. Mereka memulai diskusi dengan membahas bencana yang terjadi. Juga membuka ayat-ayat Al-Qur`an tentang adzab dan musibah.

2. Mereka mendatangi target ke rumah, tempat kos, kampus maupun kontrakan. Kemudian mereka mengajak berdiskusi tentang masalah agama dan Al-Qur`an. Jika target tertarik, maka akan diajak ikut pengajian mereka.

3. Biasanya mereka menyatakan diri bahwa mereka bukan organisasi, bukan aliran, bukan firqah, dan bukan pula teroris. Mereka hanya Islam.

4. Jika dengan cara mengajak diskusi agama tidak berhasil, mereka akan mengajak diskusi masalah ilmu dunia, seperti pelajaran sekolah, kuliah, atau seputar teknologi.

Wallahu a’lam.

www.asysyariah.com




No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...