Oleh: Syaikh Muhammad Taquddin al-Hilali
Segala puji milik Allah yang mengutus Muhammad –shollallahu alaihi wa sallam- sebagai penutup para nabi dan imam para rasul, sebagai rahmat bagi semesta alam, pemberita kabar gembira, yaitu kemenangan yang nyata bagi mereka yang beriman dan mengikuti petunjuknya, dan juga sebagai pemberi peringatan akan adanya siksa yang menghinakan bagi mereka yang kafir dan menyelisihi sunnahnya, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas Muhammad, istri-istri dan keturunan beliau.
Asy-Syaikh Taqiyuddin bin Abdul Qadir al-Husaini al-Hilali berkata :
Aku tinggal di negeri Sajlamaanah, ketika berusia 12 tahun aku telah hafal al-Qur’an, aku lihat penduduk negeriku penganut fanatik berbagai thariqat Sufiyah, hampir-hampir anda tidak menjumpai seorangpun diantara mereka, baik itu seorang yang berilmu maupun orang bodoh melainkan pasti dia pengikut salah satu thariqat Sufiyah, dan mempunyai hubungan sangat erat dengan seorang syaikh seperti jalinan seseorang yang amat sangat mencintai kekasihnya, ia beristighasah pada syaikhnya di saat susah, meminta pertolongan padanya tatkala mendapatkan musibah-musibah, serta senantiasa bersyukur dan memujinya, dan jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur kepadanya, jika tertimpa musibah ia menuduh dirinya masih kurang taat dan kurang cinta terhadap syaikhnya serta kurang berpegang teguh pada thariqatnya.
Tidak terlintas dalam benaknya bahwa syaikhnya itu lemah tidak mampu melakukan sesuatu baik itu di langit maupun di bumi, (bahkan ia meyakini) syaikhnya mampu melakukan segala sesuatu. Dan aku mendengar masyarakat berkata : “Barangsiapa tidak mempunyai syaikh maka setan itu adalah syaikhnya.”
Aku melihat ada dua kelompok tasawuf yang tersebar di negeri kami :
Pertama : Kelompok tasawuf yang diikuti oleh para ulama dan para tokoh masyarakat.
Kedua : Kelompok tasawuf yang diikuti masyarakat awam.
Adapun aku lebih condong pada kelompok pertama, dan aku dengar ayahku dimana beliau termasuk ulama di negeri kami sering berujar :
Kalau bukan lantaran thariqat Tijaniyah melarang pengikutnya berziarah kubur ke makam para wali, dan meminta bantuan dan hajat kepada mereka, terkecuali kuburannya Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, dan juga terkecuali kuburan syaikh at-Tijani, dan kuburan orang-orang yang mengikuti thariqatnya dari kalangan para wali, kalau bukan karena hal ini tentu saya akan mengikuti thariqat Tijaniyah, karena saya tidak dapat meninggalkan ziarah kubur kakek kami (yang bukan penganut thariqat at-Tijaniyyah) yang bernama Abdul Qadir bin Hilal, dan kakek kami ini mashur sebagai orang yang baik, dan kuburnya dikunjungi manusia, dan dia dianggap termasuk dari kalangan para wali di daerah timur laut negeri Maroko.
Sekalipun jumlah pengikut thariqat Tijaniyah, thariqat ad-Darqawiyah dan thariqat al-Kataniyah, di negeri kami sedikit, namun thariqat-thariqat itu mempunyai pengikut dari kalangan para ulama dan tokoh masyarakat. Maka hatikupun berkeinginan untuk mengikuti ajaran thariqat at-Tijaniyah, usiaku saat itu hampir mendekati masa baligh, akupun pergi ke salah seorang syaikh dan kukatakan padanya :
Wahai tuanku, saya ingin engkau memberikan wirid-wirid thariqat at-Tijaniyah ! Diapun sangat gembira mendengar ucapanku, dan menyahut : Engkau ingin mendapatkan wirid di saat masih kecil? Ya, jawabku. Ia pun berkomentar : Bagus, bagus engkau akan beruntung, engkau akan beruntung, lalu ia memberikan wirid-wirid yaitu : membaca la ilaha illallah 100 x, demikian juga astagfirullahal adhim alladi la ilaha illa huwa alhayyul qayyum 30 kali, dan shalawat al-Fatih 50 kali, dan la ilaha illallah 100 kali, sedangkan penyempurna dzikirnya adalah : allahumma salli wasallim ala ainur rahmah ar-rabaniyah …. hingga selesai.
Orang yang membaca shalawat ini harus berwudhu, barangsiapa membacanya tidak berwudhu (tayammum) maka harus mengganti dengan membaca shalawat fatih 20 kali. Mengapa orang yang membaca shalawat ini harus berwudhu? Karena Nabi dan para khulafaur rasyidin akan menghadiri majelis orang yang membacanya, dan mereka senantiasa bersamanya selama ia berdzikir dengan wirid itu, ujarnya.
Wirid-wirid itu wajib dibaca sekali di waktu subuh dan sekali di waktu sore dalam keadaan suci dengan berwudhu sebagaimana disyariatkannya berwudhu ketika shalat, dan pelaku dzikir ini lebih afdhal berdzikir sambil duduk seperti duduk ketika bertasyahud (dalam shalat) dengan memejamkan kedua matanya, sambil menghadirkan sosok syaikh Ahmad at-Tijani, yaitu seorang lelaki yang berkulit putih kemerah-merahan dan berjenggot putih, hendaknya ia mengambarkan dalam hatinya bahwa sebuah tiang dari cahaya keluar dari hati syaikh Ahmad Tijani lalu masuk dalam hati pelaku dzikir.
Adapun rutinitas yang harus dilakukan adalah berdzikir berjamaah dengan satu suara jika pengikut thariqat itu mempunyai teman di suatu negeri, jika tidak mempunyai teman pengikut thariqat at-Tijaniyah dinegerinya diperbolehkan baginya untuk melakukan dzikir itu sendirian setiap hari.
Asy-Syaikh Abdul Karim al-Mansuri memberitahukan padaku sebagian keutamaan wirid-wirid itu, dan akupun terus mengamalkan wirid-wirid yang ia ajarkan dengan hati ikhlas sambil menekuni syarat-syaratnya selama sembilan tahun. Dan ada juga dzikir pada hari jumat ketika matahari tenggelam, yaitu : laa ilaha illallah 1000 kali, dst.
Setiap kali tertimpa musibah aku beristhighasah/meminta pertolongan kepada syaikh at-Tijani namun ia tidak pernah menolongku, diantaranya ketika aku di Aljazair bepergian dari suatu daerah ke daerah lain, di saat itu aku bersama seorang teman yang mempunyai unta, lalu temanku itu mengikat untanya (agar tidak lepas) dan ia berwasiat agar aku menjaganya, kemudian ia meninggalkanku dalam sebuah kemah, lalu tali ikatan unta itu lepas, kemudian berjalan di tanah lapang, akupun mengejarnya, (namun) seolah-olah ia mengejekku, yaitu ketika ia berhenti berdiri dan lehernya hampir aku pegang, di saat itu ia lari menjauh kemudian berhenti lagi menungguku, hingga hampir-hampir kendalinya dapat kupegang, ia lari kembali (menjauhiku), yang demikian itu di saat terik matahari yang sangat panas di siang hari, maka aku berkata dalam diriku : ini adalah waktu untuk beristhighasah kepada syaikh at-Tijani, maka akupun berdoa kepadanya dan bersungguh-sungguh dalam beristhighasah agar syaikh memberi kemampuan padaku untuk menangkap dan mendudukkan unta itu, namun syaikh tidak dapat mengabulkan permohonanku. Akupun mencela diriku sendiri dan menganggap diriku tidak ikhlas dan kurang dalam berkhidmat kepada thariqat at-Tijaniyah, dan sama sekali aku tidak menganggap syaikh at-Tijani lemah/tidak mampu memenuhi hajatku.
Sekalipun para syaikh thariqat Tijaniyah menasehati para pengikutnya agar tidak membaca kitab selain kitab thariqat at-Tijaniyyah dalam masalah tasawuf, (aku tidak mengindahkan) ada ditanganku satu jilid kitab “Ihya Ulumuddin” karya Ghazali, akupun membacanya, maka apa yang kubaca berbekas dalam hatiku, lalu akupun bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menekuni shalat malam dalam suasana yang sangat dingin.
Pada suatu malam aku melakukan shalat tahajjud di depan kemahku yang berukuran kecil, jika aku duduk hampir-hampir kepalaku menyentuh atapnya, tiba-tiba aku melihat awan putih menutupi ufuk seperti sebuah gunung yang menjulang tinggi dari bumi ke atas langit, kemudian awan itu mendekati diriku dari arah timur - dan arah timur adalah kiblat bagi seorang yang shalat di Maroko dan Aljazair - hingga awan itu berhenti jauh dariku, lalu keluar darinya sosok manusia melangkah maju hingga dekat denganku, kemudian sosok itu ikut shalat bermakmum padaku, pakaiannya menyerupai pakaian seorang wanita berumur 15 tahun, namun lantaran pekatnya malam aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya.
Tatkala sosok itu ikut shalat bersamaku, akupun membaca surat as-Sajadah, namun rasa takut menyelimutiku hingga aku ganti membaca surat lainnya, yaitu surat Saba, namun tetap saja aku juga tidak mampu membaca ayat-ayat al-Qur’an lantaran ketakutan, lalu aku tinggalkan surat-surat yang panjang dan aku ganti membaca surat-surat pendek yang tidak membutuhkan kosentrasi penuh ketika membacanya, maka sosok itupun shalat bersamaku enam raka’at, dan aku tidak ingin berbicara dengannya, karena kitab-kitab thariqat mewasiatkan kepada pengikutnya untuk tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang menghalanginya di saat melakukan amalan ritual hingga ia sampai kepada Allah, dan tersingkap untuknya suatu penutup, hingga ia dapat menyaksikan arsy dan ruang angkasa, dan tidak ada satupun hal yang ghaib yang tersembunyi darinya.
Tatkala suasana keheningan yang menakutkan itu berlangsung lama, akupun berdoa kepada Allah dalam sujud rakaat keenam : “Ya Allah jika ada kebaikan dalam ucapan sosok ini jadikanlah ia bercakap denganku, dan jika tidak ada kebaikan dalam ucapannya maka palingkanlah ia dariku, maka tatkala aku selesai mengucapkan salam sesudah tasyahud pada rakaat keenam, sosok itupun mengikuti, namun tidak kudengar sayup suara salam darinya, hanya saja aku dapat melihatnya ketika ia menoleh kearah kanan ketika salam sebagaimana dilakukan pengikut mazhab Maliki ketika shalat sendirian, mengucapkan salam hanya sekali saja ke-arah kanan, yaitu Assalamualaikum tanpa menambahkan kalimat “warahmatullahi wabarakatuhu”, jika bermakmum kepada salah seorang imam ia harus mengucapkan salam tiga kali jika disebelah kirinya ada makmum lainnya maka salamnya kearah kanan itu salam penutup shalat, (kedua) salam kedepan kearah imam dan (ketiga) salam kekiri, kepada orang yang shalat di sebelah kirinya.
Padahal hal tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan al-Hafid Ibnu Hajar bahwasanya Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- mengucapkan salam kearah kanan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu”, dan mengucapkan salam kearah kiri “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu”, inilah yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengerjakan shalat, baik ia menjadi imam atau makmum atau shalat sendirian.
Sesudah salam, sosok itu pergi perlahan-lahan hingga masuk dalam awan putih yang berhenti menunggunya, sesudah menghilang dibaliknya, maka awan itu mundur kearah timur hingga lepas dari pandanganku.
Pada Qabilah Himyan ada seorang syaikh yang bernama syaikh Sinqithi, seorang yang shalih, aku tidak pernah melihat orang dalam hal zuhud, wara’ dan akhlaq yang mulia sepertinya, aku pergi menemuinya dan kuceritakan padanya kejadian itu, lalu ia berkata : Mungkin itu adalah syaitan, kalau sosok itu malaikat tentu engkau tidak akan tertimpa rasa takut. Akupun menganggap pendapatnya itu benar.
Setelah beberapa tahun lamanya, aku belajar ilmu hadits, aku baca dalam kitab “Shahih Bukhari” kejadian yang menimpa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- ketika Jibril mendatanginya di Gua Hira (Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- ketakutan). Akupun menganggap bahwa pendapat syaikh tidak benar, dan permasalahan ini tidak kudapatkan jawabannya, dan pada waktu itu aku masih dalam keadaan musrik (menyekutukan Allah), aku beristhighasah kepada selain Allah, takut kepada selain Allah. Dari sini anda akan mengetahui bahwa munculnya hal-hal yang aneh diluar jangkauan akal dan apa yang terjadi dalam alam ghaib bukan merupakan dalil akan benarnya hal-hal yang aneh yang muncul itu dan bukan merupakan dalil yang menunjukkan bahwa seorang itu wali Allah, karena setiap para pelaku ritual kejiwaan dalam agama apapun akan ditampakkan hal-hal yang aneh diluar jangkauan akal, aku telah mendengar dan membaca bahwa para penyembah patung di India ditampakkan kepada mereka hal-hal yang aneh dan diluar jangkauan akal.
Beberapa hari kemudian aku bermimpi melihat seorang lelaki yang membangunkan dan memberi isyarat kearah ufuk dan berkata padaku : Lihatlah, maka akupun melihat tiga orang lelaki, lalu ia melanjutkan ucapannya : Sesungguhnya lelaki yang berada ditengah mereka itu adalah Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, maka aku menuju sosok itu, tatkala aku sampai kepadanya, dua orang dari mereka pergi, maka aku pegang tangannya dan kukatakan : Wahai Rasulullah peganglah tanganku dan ajaklah menuju Allah ! Kemudian ia berkata kepadaku : Bacalah ilmu (agama)! Maka akupun berpikir, dan sadar bahwa aku berada di negeri Aljazair dimana orang-orang Perancis menguasainya, dan para ulama dari negeri kami (Maroko) mengkafirkan setiap orang yang bepergian ke Aljazair, jika orang tersebut pulang kembali ke negerinya, para ulama akan menyuruhnya mandi dan memperbaharui ke-Islamannya, dan memperbaharui pernikahannya/mengulangi akad nikah dengan istrinya.
Maka aku katakan dalam diriku : Ini Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- menyuruhku untuk menuntut ilmu, sedangkan aku berada di negeri yang dikuasai orang-orang Nashara, maka aku akan menjadi orang yang bermaksiat atau kafir, lalu bagaimana Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- memperbolehkanku untuk menuntut ilmu di negeri itu.
Ini semua terjadi dalam sekejap, dan aku masih dalam posisi berdiri di depan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-. Lalu aku bertanya : Di negeri kaum muslimin atau di negeri Nashara? Semua negeri itu adalah milik Allah, jawab beliau –shollallahu alaihi wa sallam-. Kusambung pertanyaanku : Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia mematikanku dalam keadaan iman, beliaupun –shollallahu alaihi wa sallam- mengangkat jari telunjuknya kearah langit, dan berkata : “Di sisi Allah”.
Setelah keluar dari thariqat Tijaniyah, lantaran diskusi yang akan aku ceritakan nanti insya Allah, sekali lagi aku bermimpi melihat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dengan wajah yang berbeda dari yang kulihat dalam mimpi pertama, dalam mimpi yang pertama sosok beliau –shollallahu alaihi wa sallam- adalah seorang yang tinggi putih kurus kemerah-merahan, berjenggot putih, adapun pada mimpi kali ini beliau tidak terlalu tinggi dan tidak kurus, jenggotnya hitam, dan wajah beliau –shollallahu alaihi wa sallam- yang putih kemerah-merahan seperti kulitnya orang Arab, dan aku melihat beliau –shollallahu alaihi wa sallam- di tanah lapang.
Setelah keluar dari thariqat at-Tijaniyah terkadang hatiku tertimpa was-was dengan tulisan yang dinisbatkan kepada syaikh at-Tijani dalam kitab Jawahirul Ma’ani, bahwa syaikh berkata : “Barangsiapa meninggalkan wiridnya dan berganti membaca wirid ajaran kami, serta berpegang pada thariqah kami yaitu thariqah al-Ahmadiyyah al-Muhammadiyyah al-Ibrahimiyyah al-Hanafiyyah at-Tijaniyyah maka tidak akan ada rasa ketakutan pada dirinya dari Allah, tidak pula dari Rasulullah, tidak pula dari syaikhnya siapapun dia dari kalangan orang yang hidup maupun yang telah mati, adapun orang yang mengambil wirid kami lalu meninggalkannya maka bala’ akan menimpanya, dan tidak akan mati melainkan mati dalam keadaan kafir, inilah yang diberitahukan Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- kepadaku dalam keadaan bangun dan bukan dalam keadaan bermimpi”. Dan Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- berkata : Wirid-wiridmu adalah wiridku juga, murid-muridmu adalah murid-muridku dan aku adalah pendidik mereka.
Dalam membantah was-was ini, aku menggunakan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, dan aku berlindung kepada Allah dari syaitan hingga ia lari kalah, maka tatkala aku melihat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dalam mimpi kali ini, terlintas dibenakku hal itu, maka aku berazam untuk memulai berbicara dengan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, aku meminta kepada beliau –shollallahu alaihi wa sallam- agar berdoa kepada Allah untukku agar mewafatkanku dalam keadaan iman.
Mungkin para pembaca tidak lupa pada mimpiku yang pertama, disaat aku meminta kepada Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, namun beliau –shollallahu alaihi wa sallam- tidak mendoakanku, hanya saja beliau –shollallahu alaihi wa sallam- mengangkat jari telunjuknya ke-arah langit dan berkata di sisi Allah. Lalu aku berkata : Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar mewafatkanku dalam keadaan beriman. Lalu beliau berkata kepadaku : Hendaknya engkau yang berdoa dan aku akan mengamini doamu, maka aku angkat tanganku dan berdoa : Ya Allah wafatkanlah aku dalam keadaan beriman. Lalu Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- berkata : Amin, dan beliau –shollallahu alaihi wa sallam- mengangkat kedua tangannya.
Maka hilanglah rasa was-was dalam diriku akan tetapi aku tidak merasa aman dari makar Allah, karena tidak ada yang merasa aman dari makar Allah melainkan orang-orang yang merugi, (surat al-a’raf: 99) dan mimpi itu adalah mimpi yang memberi kabar gembira dan bukan mimpi yang menipu, dan antara mimpiku yang pertama yang telah aku ceritakan, dimana beliau –shollallahu alaihi wa sallam- tidak mendoakan dengan mimpi ini dimana Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- mengamini doaku selang 20 tahun, aku mentakwilkan perbedaan pada mimpi yang pertama dimana Nabi tidak mendoakan dan mimpi yang kedua dimana Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- mengamini doaku adalah dahulu aku terjerumus dalam kesyirikan dalam beribadah kepada Allah, sedangkan pada mimpi kedua aku mentauhidkan Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam-, wallahu alam.
Mengapa Aku Keluar Dari Thariqat Tijaniyah
Sungguh, aku dahulu berada dalam kesesatan yang nyata, di saat itu aku berpendapat jika keluar dari thariqat Tijaniyah berarti aku telah keluar dari agama Islam, tidak terlintas dalam benakku untuk keluar sekalipun sejarak sehelai rambut dari thariqat.
Adalah Syaikh Abdulhayyi al-Kattani musuh thariqat at-Tijaniyah, karena dia adalah syaikh resmi thariqat al-Kattaniyah, saya katakan ia adalah syaikh resmi karena penduduk “Sala” yaitu penduduk yang membantu syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Kattani, pencetus thariqat al-Kattaniyah, tidak mengakui syaikh Abdulhayyi (sebagai syaikh thariqat al-Kattaniyyah), mereka berkata : Sesungguhnya penjajah Perancislah yang mengangkatnya sebagai syaikh (thariqat al-Kattaniyyah) bagi penduduk “Sala”.
Yang menceritakan hal ini adalah seorang sastrawan yang alim syaikh Abdullah bin Said as-Salwa, dia adalah penolong Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Kattani, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Kattani ini sangat memusuhi saudaranya Syaikh Abdulhayyi al-Kattani dan menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang tidak pantas saya sebutkan di sini.
Pernah suatu ketika Syaikh Abdulhayyi al-Kattani bertemu denganku di sebuah kota, saat itu aku berada di rumah Syaikh Ahmad Sikrij seorang ulama, sastrawan, penyair yang menguasai bermacam-macam ilmu, beliau adalah seorang hakim. Di saat itu aku datang untuk mengajari anaknya, yang bernama as-Sayyid Abdul Karim, ia adalah seorang sastrawan, dan aku juga mengajari anak saudaranya yang bernama as-Sayyid Abdussalam. Aku mengajari keduanya pelajaran sastra Arab karena permintaan Syaikh Ahmad Sikrij.
Di saat itu aku melantunkan syair yang tidak aku ingat lagi bait-baitnya memuji Syaikh Abdulhayyi al-Kattani, dia terkesan dengan syair itu, hingga berkata kepadaku : Berjanjilah, jika engkau datang di kota Fasa engkau harus singgah di rumahku sebagai tamu, maka akupun mengiyakan.
Pada bulan Rabiul Awal tahun 1340 H aku pergi ke kota Fasa dan singgah di rumahnya. Saat itu bertepatan dengan kelahiran anaknya yang bernama Abdul Ahad, akupun menyusun syair mengucapkan selamat atas kelahirannya dan mengutip tanggal kelahirannya, dan aku sudah tidak ingat lagi bait-bait syair itu sedikitpun.
Pada hari ketujuh, ia membikin jamuan yang besar dan mengundang khalayak ramai. Sesudah menyantap hidangan para undangan berdiri sambil berdzikir diiringi tarian-tarian. Mereka mengajakku ikut serta dalam kebatilan mereka, akupun menolaknya, karena diantara syarat pengikut thariqat at-Tijani yang ikhlas adalah tidak berdzikir bersama thariqat lainnya dan tidak menari bersama mereka.
Di dalam kitab “al-Baqhiyyah” karya Syaikh al-Arabi Ibnu as-Sayih, kitab ini adalah syarh/pemaparan kitab “al-Maniyyah” karya at-Tijani Ibnu Baba asy-Syinqithi ada sebuah hikayah tentang acaman yang keras bagi seseorang yang mengikuti dzikir thariqat-thariqat lainnya, ringkasnya ada seorang pengikut thariqat at-Tijani pergi ke perkumpulan thariqat lainnya untuk tujuan duniawi, lalu ia malu berada disitu sendirian sedangkan orang lain berdzikir dengan dzikir thariqat mereka, maka iapun ikut serta berdzikir bersama mereka, di saat ia membuka mulutnya untuk berdzikir bersama mereka, tiba-tiba kelumpuhan menimpa pada tulang rahangnya hingga mulutnya tetap terbuka dan ia tidak mampu menutupnya hingga meninggal dunia.
Akan tetapi para hadirin terus mengajak dan menarikku hingga aku terseret dalam halaqah mereka, aku melihat mulut-mulut mereka menganga (berdzikir), diantara mereka ada yang berjenggot hitam, dan yang lain berjenggot putih. Ada juga yang tidak berjenggot, dan yang tidak berjenggot ini adalah dari kalangan anak-anak yang masih belia yang belum memiliki jenggot, pada zaman itu orang yang mencukur jenggot sedikit sekali di jumpai kecuali para penjajah Perancis dan pengikut mereka yang berjumlah sedikit.
Aku dengar suara-suara yang keluar dari mulut-mulut itu, suara yang tidak dimengerti oleh semua bahasa, sebagian mereka mengucapkan aa aa aa , dan yang lain mengatakan aah aah aah, dan lainnya berkata aq aq, aku mengingkari hal ini, jiwaku berkata sesungguhnya Allah tidak ridha bahwa ini adalah cara beribadah kepada-Nya, karena hal ini adalah hal yang buruk, lalu aku sangat menyesal. Hatiku berbisik mengatakan bagaimana diperbolehkan bagi diriku mengingkari acara dimana seorang wali semisal Sayyid Ahmad at-Tijani hadir, akupun bertaubat dari pikiran yang terlintas dalam jiwaku ini.
Setelah itu datang lagi ujian lainnya, yaitu tatkala Syaikh Abdul Hayyi al-Kattani berkata sambil mengkritik : Sesungguhnya thariqat at-Tijaniyah dibangun ditepi sebuah jurang/kehancuran, dan tidak sepatutnya orang yang berakal mengikuti thariqat itu, lalu aku tanyakan kepadanya : Bagaimana halnya dengan thariqat al-Kattaniyyah dimana anda adalah Syaikhnya? Lalu ia berkata : Semua thariqat itu adalah ajaran yang batil -Thariqat-thariqat yang berkembang di indonesia adalah thariqat Qadiriyah, Syadziliyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Syattariyah, Syammaniyah, Tijaniyah, Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah,(Pent)- sesungguhnya thariqat itu dibuat sebagai tipu daya agar syaikh dapat memakan harta manusia dengan cara yang batil, menguasai dan memperbudak mereka, ia melanjutkan : Saya tidak pernah mendirikan thariqat (al-Kattaniyyah), yang mendirikan thariqat itu adalah orang lain, dan harta yang aku ambil dari mereka ini aku infakkan di jalan kebaikan yang mereka tidak menginfakkan untuknya.
Lalu aku bertanya kepadanya : Apakah yang membuatmu mengkritik thariqat-thariqat, dan apa dalilmu kalau thariqat itu batil? Ia pun menjawab : Pernyataan masing-masing syaikh dari kedua thariqat itu (at-Tijaniyyah dan al-Kattaniyyah) bahwa sosok nabi –shollallahu alaihi wa sallam- hadir tatkala mereka melakukan dzikir-dzikir. Ini merupakan sikap kurang beradab dari keduanya, dan sikap tidak mengagungkan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, bagaimana bisa kalian membebani Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- untuk keluar dari kuburnya dengan menempuh jarak melalui daratan dan lautan untuk duduk di depan mereka, dan kalian membentangkan kain putih untuknya agar beliau –shollallahu alaihi wa sallam- duduk di atasnya sedangkan para pengikut thariqah kita berdiri dan pergi kearah pintu untuk menyambut beliau –shollallahu alaihi wa sallam-.
Lalu aku bertanya : Kalau begitu engkau tidak meyakini kebenaran ajaran thariqahmu? Ia menjawab : Sama sekali aku tidak menyakininya, dan aku telah memberitahukan kepadamu bahwa thariqat-thariqat itu adalah buatan manusia agar (para syaikhnya) dapat memakan harta manusia dengan batil (membohongi mereka). Dan aku tambahkan keteranganku ini, dalam kitab rujukan thariqah kalian yaitu (Jawahirul Ma’ani) yang kalian menganggap bahwa syaikh kalian Ahmad Tijani telah mendikte Ali Harazim menulisnya, separuhnya adalah saduran, salah satu dari dua jilid itu yaitu jilid pertama saduran karangan Muhammad Abdullah yang dikubur di suatu tempat di kota Fasa. Syaikh Abdul Hayyi al-Kattani menyebutkan nama tempat yang saya tidak ingat lagi. Syaikh melanjutkan lagi : Dan saya telah membandingkan dua kitab itu dari awal hingga akhir, saya dapati jilid pertama dari kitab (Jawahirul Ma’ani) seluruhnya dikutip dari perkataan syaikh Muhammad Abdullah, kemudian saya meninggalkannya.
Selang beberapa hari kemudian aku duduk di majelis Syaikh Umar bin al-Khayyat salah seorang penjual buku-buku dekat kota al-Qairawan, ia bertanya : Apakah engkau pernah berjumpa dengan syaikh Muhammad bin al-Arabi al-Alawi? belum, jawabku. Orang ini termasuk ulama terkemuka di kota Fasa dan ia mempunyai buku-buku yang tidak ada semisalnya di kota Fasa ini, lanjut Syaikh Umar sambil memuji ilmu dan adabnya. Aku tidak akan duduk dengan orang itu dan aku tidak mau bertemu dengannya karena dia membenci Syaikh Ahmad at-Tijani dan mencela thariqatnya, ujarku.
Penuntut ilmu itu wajib mempunyai wawasan luas dan berakhlaq terhadap semua orang, dengan demikian ilmu dan perangainya akan luas dan baik, dan tidak wajib bagi penuntut ilmu mengikuti semua orang dalam segala apa yang mereka ajak, hendaknya ia mengambil apa yang baik dan meninggalkan yang buruk, sahut Syaikh Umar. Jika engkau tidak bertemu dengan syaikh Muhammad bin al-Arabi al-Alawi akan terlewatkan darimu ilmu dan adab yang banyak, lanjutnya.
Akupun pergi menemui syaikh Muhammad bin al-Arabi al-Alawi, ternyata dia adalah seorang hakim di pengadilan kota Fasa, maka kubuatlah empat bait syair yang aku tidak ingat lagi kecuali bait yang terakhir yaitu :
هذا مدى قصدى وما أنا مستجد
“Aku maksudkan bahwa tujuanku bertemu denganmu adalah untuk saling berdiskusi ilmiah dan itulah tujuanku yang sebenarnya.”
(Dalam bahasa Arab) jika huruf ( ما ) dalam bait itu dianggap sebagai “maa maushulah” (maa yang bermakna “yang”) maknanya adalah inilah yang aku minta, namun jika kita menganggap huruf “maa” sebagai “maa nafiyah” (yang bermakna “tidak”) maka artinya adalah aku tidak minta uang.
Tatkala syaikh Muhammad bin al-Arabi keluar dari gedung pengadilan dan hendak menaiki kendaraannya yang berada di depan pintu gedung pengadilan, dan pembantunya memegang tali kekangnya, aku mendatanginya dan kuberikan lembaran bait-bait syair itu, setelah dibaca, iapun menyambutku, dan berkata kepada al-Haj Muhammad bin asy-Syaikh al-Arari teman yang menemaniku, : Kamu tahu rumahku? Ya, jawab temanku itu. Datanglah ke rumahku jam 9 pagi, ujar Syaikh Muhammad bin al-Arabi .
Pada jam 8.30 aku pergi bersama temanku dari tempat tinggalnya di Madrasah asy-Syaratin agar dapat sampai ke rumah syaikh Muhammad bin al-Arabi jam 9 pagi, hari itu adalah hari kedua belas bulan Rabiul Awal, hari itu merupakan hari raya bagi penduduk Maroko dan penduduk negeri-negeri Islam lainnya.
Di Maroko ada kelompok (sesat) yang bernama al-Aisawiyin pengikut Syaikh bin Isa al-Maknasi, mereka itu mempunyai satu musim tiap tahun dimana mereka berkumpul pada hari kedua belas bulan Rabiul Awal dan mereka datang dari segala penjuru. Mereka memukul-mukul kendang dan meniup seruling, bersenandung dengan nasyid-nasyid hingga orang-orang melihat mereka itu seperti orang gila, di saat itulah mereka menerkam kambing-kambing dan ayam-ayam tanpa memasak bahkan langsung memotong dengan kuku-kuku mereka dan memakan daging mentahnya, dan darah mengucur dari binatang-binatang itu, kelompok ini memenuhi kota Fasa pada zaman itu hingga zaman ini. Lantaran penuh sesaknya jalan kami terlambat 2 setengah jam sampai di rumah syaikh Muhammad bin al-Arabi, setelah sampai kami memceritakan kepada penjaga rumah syaikh, lalu ia masuk kedalam kemudian kembali kepada kami dan berkata : Kalian berdua datang tidak tepat waktu, sekarang Syaikh sibuk menerima tamu para penguasa Perancis, kembalilah kesini sesudah ashar.
Maka kamipun pergi, lalu kukatakan pada temanku : Kita tidak usah pergi menemuinya lagi, Allah –azza wa jalla- telah menjaga kita dari kejelekan pertemuan dengannya, karena ia benci kepada Syaikh kami (yaitu Syaikh at-Tijani) dan thariqatnya, dan kebaikan itu adalah pada apa yang Allah pilihkan. Lalu sahabatku menyahut : Syaikh Muhammad bin al-Arabi tidak salah, ia mempunyai alasan tepat, sebaiknya kita kembali lagi untuk menemuinya.
Sesudah Ashar kami pergi menemui Syaikh, beliau seorang yang ramah tamah, memuliakan dan bersikap tawadhu, sikap-sikap yang tidak aku dapati pada diri Syaikh al-Kattani dan tidak juga pada diri ulama-ulama di kota Fasa.
Kamipun terlibat dalam pembicaraan mengenai sastra Arab, disela-sela dialog itu ia mengambil buku dan meletakkannya di depanku. Maka aku dapati sebagaimana apa yang dikatakan Sayyid Umar bin Hayyat. Tatkala senja hampir tiba aku meminta izin untuk pergi, lalu ia berkata padaku : Kemana kamu akan pergi, engkau orang asing di negeri ini, dan rumah ini telah disiapkan untuk menerima tamu, tinggal dan bermalamlah di sini. Akupun menerima tawarannya, setelah kami selesai menunaikan shalat maghrib, teman-teman Syaikh datang, diantaranya Syaikh Abdussalam as-Sharghini, Syaikh al-Muhdi al-Alawi dan beliau ini masih hidup, adapun Syaikh Abdussalam telah meninggal dunia.
Lalu sebagian orang bermain catur, dan Syaikh melihat mereka dan tidak mengingkari, hatikupun berkata : Ini dalil bahwa syaikh termasuk ulama yang tidak mengamalkan ilmu, pantas saja ia mencela para wali Allah dan karamah yang Allah berikan pada mereka, setelah itu mereka berhenti bermain catur dan memulai membicarakan mengkritik thariqat al-Kattaniyyah dan mengejek pengikutnya, masing-masing mereka bercerita.
Kemudian Syaikh berkata : Aku mempunyai kisah yang sangat mengherankan dari kisah-kisah tentang mereka. Datang seorang pemuda, ia adalah seorang pengikut setia thariqat al-Kattaniyyah, ia berkata padaku : Aku ingin bertaubat di tanganmu dari seluruh thariqat, dan engkau mengajarkan kepadaku al-Qur’an dan sunnah, lalu aku katakan padanya : Apa yang mendorongmu keluar dari thariqatmu yang engkau senangi itu? Pemuda ini dahulunya peminum minuman keras, pezina, meninggalkan shalat Ashar, Maghrib, dan Isya. Lalu suatu ketika dia melalui majelis thariqat al-Kattaniyyah dan mendengarkan para pengikut thariqat itu menari, berteriak dengan suara melengking, dan ada seorang yang menyenandungkan syair-syair kepada mereka, dan yang lainnya mabuk, lalu dia ingin ikut menari-nari bersama mereka, akan tetapi ia terhalangi dari hal itu karena junub, dan belum pernah menunaikan shalat hingga siang itu, akan tetapi ketidaksadarannya mengalahkannya, ia masuk, dan didapatinya Syaikh Muhammad bin Abdul Kabir di depan halaqah, sedang para muridnya menari, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Kabir larut dalam tarian bersama mereka, dan dia adalah orang yang paling bersemangat dalam menari diantara mereka.
Tatkala mereka selesai menari, Syaikh memanggil pemuda itu dan mencium bibirnya, dan Syaikh itu berkata : Aku melihat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menciummu, lalu akupun mencontoh Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menciummu! Pemuda itu berkata : Tatkala ia memanggilku, aku merasakan ketakutan luar biasa, aku mengira Syaikh itu akan membuka aibku (sebagai seorang pemuda yang banyak dosanya), dan akan menjelek-jelekkanku atas dosa yang aku lakukan. Tatkala Syaikh mengatakan perkataannya tadi, saya yakin bahwa ia berdusta atas segala pengakuannya dan apa yang ia dakwahkan, kalau tidak berdusta mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- meridhaiku dan mencium bibirku, padahal aku melakukan dosa-dosa besar pada saat itu. Pemuda tadi melanjutkan : Inilah sebab kedatanganku padamu, aku ingin bertaubat kepada Allah dari segala macam thariqat, dan aku akan mengikuti thariqat (jalan) al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tatkala aku melihat mereka menjelaskan aib thariqat al-Kattaniyyah serta mengejeknya, rasa takut yang sangat menyelimutiku, aku menyesal telah mengunjungi Syaikh Muhammad bin al-Arabi, hatiku berkata : Inilah yang aku khawatirkan telah terjadi, lalu bagaimana jalan keluarnya?
Aku teringat dengan perkataan at-Tijani bin Baba menjelang kematiannya :
Barangsiapa duduk dengan orang yang membenci Syaikh ia akan cacat mulutnya
Dan akan tersesat dalam masalah yang menakutkan dan membinasakan
Dan Nabi telah mengingatkan hal ini kepada orang-orang yang berakal diantara kita
Maka hendaklah engkau mengamalkan apa yang aku ucapkan
Syaikh berkata, perbuatan itu adalah racun yang berjalan
Akan menuju orang yang melakukannya
Makna syair itu bahwa Syaikh Ahmad at-Tijani berkata : Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- berkata padaku dalam keadaan aku tidak tidur dan hal ini bukan mimpi, katakanlah kepada sahabat-sahabatmu janganlah mereka duduk bersama orang-orang yang membencimu, karena hal ini akan menyakitiku.
Aku berketetapan untuk keluar dari majelis itu. Lalu aku bangun akan pergi, namun Syaikh bertanya : Kemana kau akan pergi? Ke kamar mandi jawabku. Aku membohonginya, tatkala tiba di depan pintu, penjaga melarangku keluar, dan mengatakan : Apakah Syaikh telah mengizinkanmu untuk keluar? Ya, jawabku. Iapun bertanya lagi : Mustahil, karena engkau orang asing, sedangkan peraturan yang dibuat penjajah Perancis menetapkan jam malam, keluar sesudah jam 10 malam akan berbahaya, jika engkau keluar beberapa langkah, engkau akan ditangkap dan dimasukkan penjara hingga esok pagi, setelah itu akan dimintai alasan yang dapat membebaskanmu.
Penjaga itu melanjutkan ucapannya : Aku tidak akan membukakan pintu bagimu kecuali aku dengar izin dari syaikh. Akupun menyahut : Kalau begitu aku kembali.
Maka akupun kembali dan duduk di tempatku semula. Usahaku untuk keluar ini diketahui syaikh, lalu iapun bertanya : Aku mengetahuimu akan keluar dan dilarang penjaga, apakah sebabnya? Aku jawab : Penyebab aku ingin pergi adalah setelah engkau mencela thariqat al-Kattaniyyah, engkau ganti mencela thariqat at-Tijaniyyah, sedangkan aku pengikut thariqat at-Tijaniyyah, tidak diperbolehkan bagiku duduk dalam majelis yang mencela Syaikhku dan thariqatku. Lalu ia menjawab : Tidak mengapa (aku memaklumi). Aku dulu juga pengikut thariqat at-Tijaniyyah lalu aku keluar dari thariqat itu setelah melihat kebatilannya. Maka jika engkau ingin terus berpegang teguh pada thariqat ini dengan kebodohan dan sikap taklid maka setelah ini engkau tidak akan mendengarkan celaan terhadap thariqat ini. Namun jika engkau ingin menempuh jalan ahli ilmu, ayo kita berdiskusi, jika engkau menang dalam diskusi itu aku akan mengikuti thariqat at-Tijaniyyah, jika engkau kalah engkau harus keluar dari thariqat itu sebagaimana aku telah keluar darinya. Maka sikap sombongku dan tidak mau kalah, serta ketidakridhaanku dikatakan mengikuti thariqat at-Tijaniyyah lantaran kebodohan, menghasungku untuk menerima tantangannya. Ya, aku mau berdiskusi pungkasku.
Syaikh memulai pertanyaannya : Saya ingin berdiskusi denganmu dalam satu masalah saja, jika engkau benar maka seluruh thariqat itu benar, jika salah maka segala thariqat yang ada itu batil. Aku menyahut : Masalah apa? Syaikh menjawab : Dakwaan syaikh at-Tijani bahwa ia melihat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, lalu Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- mengajarkan thariqat ini disertai keutamaan-keutamaannya, jika memang benar ia melihat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dalam keadaan tidak tidur, lalu ia menerima thariqat ini, berarti engkau berada dalam kebenaran dan saya dalam kebatilan dan saya akan kembali kepada kebenaran. Jika dakwaan Syaikh at-Tijani itu batil, berarti aku berada dalam kebenaran dan engkau dalam kebatilan, dan wajib bagimu meninggalkan kebatilan itu lalu berpegang pada kebenaran.
Syaikh melanjutkan ucapannya : Engkau yang memulai diskusi ini, atau aku? Engkau saja yang memulai, jawabku. Syaikh memulai : Saya mempunyai dalil-dalil, setiap dalil itu cukup untuk mematahkan pengakuan Syaikh at-Tijani. Akupun menjawab : Sebutkan dalil-dalilmu, aku akan menjawabnya.
Syaikh berkata :
Pertama :
Sesungguhnya perselisihan pertama kali yang terjadi dikalangan sahabat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- disebabkan masalah khilafah (kekuasaan). Para sahabat Nabi dari kalangan Anshar berkata kepada kaum Muhajirin : Kami mempunyai pemimpin dan engkau mempunyai pemimpin. Maka berkatalah kaum Muhajirin : Sesungguhnya bangsa Arab tidak akan tunduk kecuali kepada seseorang dari Quraisy. Dan terjadilah perdebatan yang seru antara Anshar dan Muhajirin, hingga-hingga mereka lalai menguburkan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, maka selama tiga hari Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- belum juga dikubur. Maka mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- tidak menampakkan dirinya kepada para sahabatnya dan memutuskan perselisihan diantara mereka dan bersabda : Fulan menjadi khalifah. Maka selesailah perselisihan? Mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- meninggalkan permasalah yang besar ini, seandainya beliau –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan kepada seorang sahabatnya bukan dalam mimpi sesudah beliau –shollallahu alaihi wa sallam- meninggal, tentulah Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- akan berbicara dengan mereka dan mendamaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Ini adalah lebih penting dari penampakkan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- kepada syaikh at-Tijani 1200 tahun sesudah beliau –shollallahu alaihi wa sallam- wafat, dan mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan dirinya? Dan mengatakan kepada syaikh at-Tijani : Engkau termasuk orang yang terpercaya, dan siapa yang mencintaimu dia termasuk orang yang terpercaya, siapa yang menggunakan wirid-wirid yang engkau ajarkan ia akan masuk surga tanpa hisab dan azab, beserta kedua orangtua dan istri-istrinya, maka mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- tidak menampakkan dirinya dan berbicara kepada para sahabatnya yang mereka itu adalah manusia yang paling utama sesudah beliau –shollallahu alaihi wa sallam- dalam permasalahan yang paling pelik ? Namun justru beliau –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan dirinya kepada seseorang yang tidak bisa menyamai keutamaan para sahabat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, bahkan tidak dapat mendekati keutamaan mereka dalam perkara yang tidak penting?
Akupun menjawab : Sesungguhnya Syaikh at-Tijani semoga Allah meridhainya telah menjawab pertanyaan ini di saat beliau masih hidup, beliau berkata : Sesungguhnya Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menyampaikan sesuatu yang khusus kepada orang yang tertentu, dan menyampaikan masalah umum kepada semuanya di saat beliau –shollallahu alaihi wa sallam- hidup, adapun sesudah beliau –shollallahu alaihi wa sallam- meninggal terputuslah penyampaian hal yang umum untuk orang umum, dan penyampaian hal yang khusus untuk orang tertentu tidak terputus sesudah wafatnya –shollallahu alaihi wa sallam-, dan ajaran inilah yaitu wirid-wirid, amalan-amalan yang utama yang disampaikan kepada syaikh kami, dan ini termasuk penyampaian hal yang khusus kepada orang tertentu.
Syaikh Muhammad bin al-Arabi menjawab : Saya tidak menerima jika dikatakan syariat itu ada yang untuk orang tertentu dan ada yang untuk orang awam, karena hukum-hukum syariat ada lima (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram). Dan wirid-wirid beserta amalan-amalan yang terdapat pada thariqat at-Tijaniyyah ini jika memang benar ajaran agama Islam, maka harus masuk dalam lima hukum itu, karena merupakan amalan yang Allah berikan pahala bagi pengamalnya, hukumnya kalau tidak wajib atau sunnah. Dan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- meninggal telah menjelaskan semua ajaran untuk umatnya, baik itu yang wajib maupun yang sunnah. Dalam shahih Bukhari dari Ali bin Abi Thalib, ditanyakan kepada Ali bin Abi Thalib :
“Apakah Rasulullah mengajarkan ajaran khusus kepada ahli bait. Ali bin Abi Thalib –radhiallohu anhu- menjawab : Demi Dzat yang menumbuhkan bebijian, dan menciptakan mahluk hidup, Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mengkhususkan suatu ajaran kepada kami, melainkan pemahaman yang diberikan kepada seseorang tentang al-Qur’an.“
Jika demikian halnya, mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- tidak mengkhususkan suatu ajaran kepada ahli baitnya, dan para khalifahnya ? Namun justru beliau –shollallahu alaihi wa sallam- mengkhususkan suatu ajaran kepada seorang lelaki yang hidup di akhir zaman dengan ajaran yang bertentangan dengan hukum-hukum al-Qur’an dan sunnah. Akupun menjawab : sesungguhnya syaikh at-Tijani alim (sangat mengetahui) al-Qur’an dan sunnah. Dan (sebenarnya) jawaban syaikh Muhammab bin al-Arabi al-Alawi memuaskan, bagi orang yang menginginkan jawaban yang memuaskan. Syaikh Muhammad bin al-Arabi berkata : ingat-ingatlah jawaban ini.
Kedua :
Perselisihan antara Abu Bakar dan fatimah az-Zahra semoga Allah meridhai keduanya dalam masalah warisan. Sebagaimana diketahui Fatimah az-Zahra meminta hak dari warisan ayahnya (Nabi shollallahu alaihi wa sallam) kepada Abu Bakar ash-Shidiq dengan hujjah bahwasanya jika Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- meninggal maka anak-anaknya mewarisi hartanya, maka mengapa Abu Bakar menghalanginya untuk mendapatkan warisan ayahnya. Abu Bakar ash-Shidiq –radhiallohu anhu- menjawab : bahwasanya Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Kami para Nabi tidak mewarisi, dan apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” (HR. Bukhari)
Dan sejumlah sahabat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- hadir tatkala Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menyampaikan ini, maka Fatimah az-Zahra marah kepada Abu Bakar ash-Shiddiq hingga ia meninggal dunia enam bulan setelah meniggalnya Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-.
Inilah dua orang yang dicintai Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, dimana beliau –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Fatimah az-Zahra bagian keluargaku, orang yang menyakitinya berarti menyakiti diriku” (HR. Muslim)
Dan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menjelaskan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq orang yang paling ia cintai, beliau –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Tidak ada seorangpun yang paling amanat padaku dalam masalah jiwa maupun masalah harta daripada Abu Bakar ash-Shiddiq” (HR. Bukhari)
Perselisihan yang menimbulkan rasa marah antara Abu Bakar dan Fatimah mengganggu Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, kalaulah Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan dirinya kepada salah seorang sesudah wafat untuk suatu permasalahan tentu Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- akan menampakkan dirinya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallohu anhu- dan berkata kepadanya : Aku tarik ucapanku tatkala aku masih hidup, lalu berikanlah Fatimah az-Zahra hak warisan, atau beliau –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan kepada Fatimah dan berkata kepadanya : Wahai anakku, janganlah engkau marah pada Abu Bakar ash-Shiddiq karena ia tidak berbuat melainkan karena melaksanakan perintahku.
Maka akupun menjawab : aku tidak dapat menjawab kecuali apa yang telah aku dengar (darimu). Syaikh berkata : ingatlah ini.
Ketiga :
Perselisihan yang terjadi antara Thalhah, Zubair dan Aisyah dengan Ali bin Thalib, perselisihan diantara dua kelompok ini sangat sengit hingga terjadi perang al-Jamal di kota Bashrah, dimana dalam peperangan ini banyak sahabat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dan Tabi’in terbunuh, unta Aisyah disembelih, Mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- membiarkan terjadinya pertumpahan darah dan keburukan menimpa kaum muslimin, bahkan menimpa para sahabat dan keluarganya? Padahal Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- mampu menghentikan pertumpahan darah ini hanya dengan satu kalimat, Allah –azza wa jalla- berfirman di akhir surat at-Taubah bahwasanya beliau –shollallahu alaihi wa sallam- amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman, apa yang menimpa mereka dirasakan sebagai penderitaan yang berat oleh beliau –shollallahu alaihi wa sallam-, yaitu Firman-Nya :
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” at-Taubah : 128
Lalu kukatakan kepada syaikh : aku tidak dapat menjawab kecuali apa yang saya telah dengar bahwa penampakkan dan perkataan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- kepada syaikh at-Tijani adalah karunia dari Allah –azza wa jalla-, dan Allah –azza wa jalla- memberikan karunia kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Syaikh berkata : perhatikan hal ini dan renungkanlah.
Keempat :
Perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan khawarij, dalam peristiwa ini banyak sekali darah ditumpahkan, kalaulah Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan dirinya kepada pemimpin kelompok khawarij, dan memerintahkan kepadanya untuk taat kepada khalifahnya tentulah darah tidak akan tertumpahkan? Akupun menjawab : jawabannya adalah apa yang saya dengar, lalu syaikh berkata : perhatikan dan renungkanlah hal ini. Aku mengharapkan sesudah ini engkau berpikir dan kembali kepada kebenaran, tutur syaikh.
Kelima :
Pertikaian yang terjadi antara Muawiyah dan Ali, kaum muslimin banyak terbunuh dalam pertempuran antara keduanya, diantaranya Ammar bin Yasir, mengapa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- tidak menampakkan dirinya kepada para sahabat manusia yang paling utama sesudah beliau –shollallahu alaihi wa sallam-, padahal terdapat maslahah yang amat penting yaitu menyatukan kaum muslimin dan mendamaikan mereka serta mencegah terjadinya pertumpahan darah? Sedangkan beliau –shollallahu alaihi wa sallam- adalah pendamai yang paling baik? Sebgaimana firman Allah –azza wa jalla- :
“Dan damaikanlah antara sesamamu” (QS. Al-Anfal : 1)
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat” (QS. Al-Hujurat : 10)
Namun justru beliau –shollallahu alaihi wa sallam- menampakkan dirinya kepada syaikh at-Tijani di akhir zaman untuk tujuan yang tidak penting, dan hal ini tidak masuk akal terjadi pada beliau –shollallahu alaihi wa sallam- karena menyelisihi al-Qur’an dan sunnah.
Akupun tidak mempunyai jawaban kecuali seperti apa yang telah aku kemukakan, akan tetapi aku belum menerima pendapat syaikh. Maka syaikh berkata : pikirkanlah dalil-dalil ini, kita akan membahas lagi dalam pertemuan yang lain. Berikutnya, terjadi tujuh kali pertemuan yang kami lakukan setelah shalat maghrib hingga menjelang isya. Setelah itu aku yakin bahwa aku berada dalam kesesatan, akan tetapi aku ingin menambah keyakinanku, maka kukatakan pada syaikh : “Siapakah ulama disini (Maroko) yang beraqidah seperti ini, karena suatu masalah baik itu aqidah ataupun furu’ (parsial) wajib kita paparkan sekuat tenaga, (sekalipun) wawasan kita terhadap al-Qur’an dan sunnah tidak banyak.
Syaikh menjawab : ulama yang beraqidah sepertiku ini adalah ulama yang terkemuka pada thariqat at-Tijaniyyah di seluruh Maroko, yaitu syaikh al-Fatimi asy-Syaradi. Hampir-hampir aku tidak mempercayainya, karena telah mashur di seluruh penjuru Maroko bahwa syaikh al-Fatimi asy-Syaradi termasuk ulama terkemuka, dan salah seorang “Muqaddam” (tokoh terkemuka) thariqat at-Tijaniyyah, aku tidak mengatakannya sebagai syaikh at-Tijani, karena syaikh at-Tijani melarang seorang menjadi syaikh selainnya, karena julukan syaikh terkadang difahami orang bahwa selain diri syaih at-Tijani diperbolehkan membuat wirid-wirid thariqat beserta keutamaan dan aqidah-aqidahnya, dan hal ini terlarang, karena yang mengajarkan thariqah ini adalah Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- dalam keadaan syaikh at-Tijani tidak tidur dan bukan bermimpi sebagaimana penjelasan lalu. Dan orang yang pertama kali diajari Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- adalah syaikh Ahmad at-Tijani, dan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menamainya syaikh thariqat ini. Dan setiap orang penyebar thariqat ini dan pengajar wirid-wiridnya dinamai “Muqaddam”, dan thariqat hanya mempunyai satu sumber dan satu syaikh, dan tidak diperbolehkan bagi thariqat mempunyai lebih dari satu sumber dan lebih dari satu syaikh sebagaimana hal ini tertera dalam kitab-kitab thariqat.
Dikutip dari : Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi.18, hal.2-14
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...