5/14/2009

MENGGUNAKAN JAMPI-JAMPI Adakah Ajarannya di Dalam Islam ?‎

Penulis : Al Ustadz Asasuddin

Memakai jampi-jampi seakan menjadi satu kebiasaan yang tak terpisahkan dengan kehidupan bermasyarakat. Hampir di setiap tempat atau daerah kita dapati praktek perjampian. Kita selalu mendapatkan keterangan dan alasan, bahwa orang-orang tua mereka dahulu melakukannya, kemudian mereka wariskan kepada anak keturunannya.

Dan yang demikian itu sudah menjadi tradisi orang-orang dahulu kala. Biasanya, pada acara tertentu yang bermakna sacral, mereka mengundang kepala adat atau orang terpandang untuk membacakan doa-doa perlindungan dengan harapan mendapatkan berkah setelah itu. Atau ketika ada yang sakit, mereka mendatangkan orang-orang yang punya kedudukan di mata masyarakat untuk melakukan upacara semacam itu. Demikian juga orang-orang jahiliyah pada masa Nabi kita -Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam- juga melakukan hal serupa, sebagaimana perkataan Auf bin Malik,

Wahai Rasulullah. Dahulu, di masa jahiliyyah, kami pernah melakukan jampi-jampi. Bagaimana menurut engkau?” Beliau menjawab,”Tidak mengapa engkau melakukan jampi-jampi, asalkan tidak ada unsur kesyirikan.”

Islam adalah agama yang sempurna. Tidak ada satupun perkara yang mendatangkan manfaat atau mendatangkan mafsadah, kecuali telah ada penjelasannya. Seperti halnya melakukan jampi-jampi -yang sedang kita bicarakan- di dalam ajaran Islam juga ada ajarannya, bahkan tentunya lebih baik dan sempurna. Sebab lafadz do'a-doanya datang dari Yang Maha Mengetahui.

Menggunakan jampi-jampi di dalam Islam diistilahkan dengan nama Ruqyah atau 'Azimah. Ada kisah yang cukup menarik -yang dialami sahabat Rasulullah j, sebagaimana yang dikeluarkan Al imam Al Bukhari di dalam kitabnya:

Pada suatu hari ada beberapa orang dari sahabat Rasululllah yang sedang menempuh suatu perjalanan. Maka tibalah mereka di suatu perkampungan dalam keadaan kehabisan bekalnya. Lalu mereka mencoba meminta kepada penduduk kampung tersebut untuk menerima mereka sebagai tamu. Namun penduduk kampung tersebut enggan menerima mereka sebagai tamunya. Tiba-tiba kepala suku mereka tersengat binatang melata. Mereka berupaya dengan segala cara untuk mnyembuhkan kepala sukunya, namun dengan semua itu kepala sukunya tidak kunjung sembuh. Mereka berpikir, barangkali para pendatang tadi memiliki obat penawar sakit yang sedang diderita kepala sukunya itu. Akhirnya, mereka mengutarakan maksudnya untuk meminta bantuan, “Hai para pendatang, kepala suku kami tersengat binatang melata. Apakah kalian punya penawarnya?” “Ya, kami memiliki jampi-jampinya. Sesungguhnya kami telah meminta kepada kalian agar menjadi tamu kalian, namun kalian menolaknya. Dan kami tidak akan menggunakan jampi-jampi tersebut kecuali jika kalian memberi kami satu imbalan ”, jawab para sahabat. Meraka (penduduk kampung) sepakat akan memberikan imbalannya dengan daging kambing. Kemudian para sahabat pergi menemui pasien dan dibacakanlah Surat Al Fatihah seraya meniupkannya kepada tempat yang sakit. Dan -dengan izin ALLAH- seketika itu pula hilang penyakitnya, seperti terlepas dari satu ikatan yang melilitnya.

Al Imam Ibnul Qoyyim berkisah,

Saat aku di Makkah, aku menderita sakit. Aku tidak mendapati orang yang ahli mengobati penyakit, begitu juga obatnya. Aku mencoba mengobati diriku sendiri dengan bacaan Al Fatihah. Seketika itu aku menemukan keajaiban yang luar biasa. Aku ambil secangkir zamzam sambil membaca Al Fatihah, lalu kutiupkan ke dalamnya. Begitulah yang aku lakukan setiap kali ada orang yang mengeluhkan penyakit. Dan - dengan izin ALLAH- diberi kesembuhan yang prima.”

Pembaca yang budiman, akhir-akhir ini istilah tersebut (ruqyah) menjadi populer dan mulai semarak dengan banyaknya kaum muslimin yang melakukannya, disertai tumbuhnya kesadaran untuk kembali kepada cara pengobatan yang diwariskan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, yaitu cara penyembuhan yang diturunkan dari Dzat Yang menurunkan penyakit dan Yang mampu memberikan kesembuhan. Tiada satu penyakit pun kecuali pasti ALLAH turunkan obatnya. Namun keterbatasan ilmu manusia lah yang menghambat diketemukan obat dari penyakit-penyakit tertentu. Al Qur'an sendiri telah mengabarkan kepada kita semua. bahwa ia adalah obat segala penyakit.

(Artinya: Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang- orang yang zalim selain kerugian.) (Al Isra’:82)

Kesadaran untuk kembali merujuk ke dunia pengobatan ala Nabi -lewat terapi ruqyah- patut kita syukuri, sehingga secara tidak langsung kaum muslimin akan cenderung lebih mendekatkan diri kepada ALLAH subahanahu wa ta’ala. Bagaimana tidak, ruqyah akan memberikan manfaat yang besar bagi hamba-ALLAH yang bertaqwa. Semakin dekat seorang hamba kepada ALLAH, maka ruqyah -dalam peranannya sebagai obat- akan mudah dicerna oleh jasad -yang bersih dari noda-noda hitam (dosa) yang menghalangi kerja penawar-.

Begitu juga yang me-ruqyah, hendaknya adalah hamba yang bertaqwa. Karena, sudah barang tentu senjata itu bergantung kepada penggunanya. Tidak dipungkiri ruqyah adalah obat yang sangat mujarrab. Namun kadang khasiatnya berkurang, disebabkan di dalam tubuh pasien terdapat endapan-endapan penyakit (dosa) yang menghalangi obat masuk ke dalam tubuh. Atau barangkali sang tabib kurang tepat sasarannya. Namun yang lebih penting lagi untuk kita ketahui bersama tentang ruqyah ini adalah, apakah praktek ruqyah tersebut sudah sesuai dengan ajaran Islam? Sehingga selamat dari penyimpangan akidah dan dengan itu ruqyah betul-betul memberikan manfaat yang nyata.

Ruqyah adalah kumpulan doa-doa perlindungan yang dibacakan untuk orang-orang sakit, kesurupan atau yang lainnya. Ruqyah juga dikenal dengan nama azimah. Bilamana ia bersumber dari Al Quran dan As-Sunnah ataupun perkataan yang baik, maka yang demikian itu sangat dianjurkan dan boleh-boleh saja. Hal itu merupakan bentuk kebaikan dari orang yang me-ruqyah, karena mengandung manfaat bagi orang lain.

Namun sebaiknya seseorang itu tidak meminta di-ruqyah. Sebab kesempurnaan tawakkal seorang kepada ALLAH serta keyakinannya yang teguh adalah bilamana ia tidak meminta hajat kecuali hanya kepada ALLAH, sekalipun itu masalah ruqyah,. Namun apabila di dalam ruqyah ( doa-doa perlindungan ) itu terdapat permintaan kepada selain ALLAH, maka yang demikian itu adalah perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Oleh sebab itu ruqyah haruslah sesuai dengan bimbingan Al Kitab dan As-Sunnah. Terdapat dalam riwayat yang shohih, dari Jabir bin Abdillah:

Ada seseorang dari bani 'Amr yang tersengat kalajengking di saat sedang duduk- duduk bersama Rasulullah. Lalu di antara mereka ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku meruqyahnya?” Beliau menjawab, ”Siapa saja yang berkenan memberikan manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.”(Silsilah Ash- Shohihah)

Riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah j tidak mengijinkan kecuali setelah Beliau melihat sifat dan jenis ruqyah-nya

Berkata Al Imam Al Khaththabi -di dalam Ma'alimus Sunan 4/226- :

“Rasulullah j pernah me-ruryah dan di-ruqyah. Beliau juga menganjurkan dan membolehkannya. Apabila ia berupa ayat-ayat Al Qur'an atau dengan menyebut nama- nama ALLAH, maka hal itu diperbolehkan bahkan dianjurkan. Dan sesungguhnya yang dilarang ataupun dimakruhkan adalah apabila tidak memakai bahasa Arab, karena dikhawatirkan ada unsur kekufuran atau ucapan yang berbau syirik.”

Demikian juga pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -di dalam Fatawa-nya:

Setiap nama yang majhul/ asing dan tidak di kenal, maka tidak boleh seseorang untuk me-ruqyah dengannya (nama-nama tersebut), atau bahkan dijadikan sebagai do' a perlindungan, meskipun seandainya dimengerti maknanya. Karena berdo'a dengan tidak menggunakan bahasa Arab makruh hukumnya. Hanya saja yang tidak mampu berbahasa Arab diberikan keringanan. Karena menggunakan lafadz /bahasa asing sebagai syi'ar bukanlah anjuran dari agama Islam. “ (Majmu' Fatawa 1/362)

Kesimpulannya -seperti yang dikatakan oleh Al Imam As-Suyuthi- adalah, bahwa para ulama sepakat tentang diperbolehkannya ruqyah apabila terpenuhinya tiga syarat:

1. Hendaklah ruqyah tersebut berupa ayat-ayat Al Qur'an, dengan menggunakan nama dan sifat-sifat ALLAH, atau dengan ucapan yang diajarkan Rasulullah j.

2. Menggunakan bahasa Arab dan yang dipahami artinya.

3. Meyakini bahwa ruqyah itu hanya sebatas sebab belaka, tidak memberikan manfaat dengan sendirinya akan tetapi atas taqdir dan izin ALLAH subahanahu wa ta’ala. Dan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah yaitu, seseorang membaca ayat atau doa lalu meniupkannya kepada sisakit ,atau ia tiupkan pada air dan diminumkan kepada sisakit. Sebagaimana di dalam riwayat Abu Dawud bahwa nabi mengambil debu lalu dibacakan ayat ruqyah serta ditiupkan padanya kemudian dituangkan kepada penderita.

Juga dapat kita ambil kesimpulan bahwa ruqyah terbagi menjadi dua:

Pertama, yang boleh dan dianjurkan, apabila memenuhi tiga syarat di atas tadi.

Kedua, yang terlarang. Yaitu semua jenis ruqyah yang tidak memenuhi syarat di atas.

Maka jelaslah bagi kita akan maksud hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah j bersabda, “Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah adalah perbuatan syirik.” Maksud dari hadist ini adalah tidak semua ruqyah itu terlarang dan termasuk perbuatan syirik. Yang dimaksud adalah ruqyah yang tidak memenuhi tiga syarat tadi. Terlebih lagi jika ruqyah tersebut dengan meminta kepada selain ALLAH. Demikian juga di dalam riwayat dari Auf bin Malik, Ya Rasulullah, dahulu kami mengadakan jampi-jampi (ruqyah), bagaimana menurut pendapat engkau?” Kata Nabi,“Kemarilah, aku lihat ruqyah yang kamu gunakan.” Kemudian beliau mengatakan, “Tidak mengapa engkau melakukannya, selama tidak ada syirik di dalamnya.”

Sesungguhnya ruqyah adalah penawar segala macam gangguan. Baik karena sihir, penderita penyakit 'Ain, kesurupan, cedera/ luka , penyakit jiwa ,mengobati kegundahan dan kesedihan, tersengat, luka-luka, serta masih banyak lagi.

Sebagai penawar luka, ada di dalam riwayat Al Bukhari:

ان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إذا اشتكى الإنسان أو كانت به قرحة أو جرح قال بأصبعه هكذا

ووضع سفيان سبابته بالأرض ثم رفعها وقال " بسم الله تربة أرضنا بريقة بعضنا يشفى سقيمنا بإذن ربنا "

(Ketika ada orang mengeluh kepada Rasulullah atau mendapati luka, Beliau mengatakan dengan isyarat tangannya; “Demikian dan demikian.” Lalu Sufyan meletakan jari telunjuk ke tanah kemudian mengangkatnya kembali sambil mengucapkan doa: بسم الله تربة أرضنا بريقة بعضنا يشفى سقيمنا بإذن ربنا )

Maksud hadits ini, bahwa seseorang meletakkkan jari telunjuknya lalu dibasahi dengan ludah, setelah itu ia letakkan ke tanah hingga sebagian tanah melekat pada jari tersebut, kemudian diletakkan pada tempat yang sakit -sambil membaca doa tadi-, insya ALLAH keluahan penyakitnya hilang -dengan izin ALLAH subahanahu wa ta’ala-.

Dalam kasus terkena sihir, ada beberapa hal yang perlu ditempuh, baik sebelum terjadinya -sebagai bentuk penangulangan-, maupun setelah terjadi -sebagai bentuk terapi/pengobatan-.

Sebelum terkena sihir, hendaknya setiap orang membentengi dirinya dengan:

1. Menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauihi larangan-larangan serta senantiasa bertaubat kepada ALLAH.

2. Memperbanyak membaca Al Qur'an.

3. Membentengi diri dengan membaca do'a, ta’awudz, serta dzikir dengan dzikir yang disyari’atkan, seperti membaca tiga kali pagi dan petang:

بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم

membaca ayat Kursi pagi dan petang, ketika hendak tidur, atau setiap kali selesai sholat, serta membaca pula surat Al Ikhlas, An-Naas, dan Al Falaq -masing masing tiga kali- dipagi hari, petang dan ketika tidur hendak tidur.

4. Memakan tujuh butir kurma di pagi hari, berdasarkan hadits: “Barang siapa di pagi hari makan tujuh kurmah "ajwah, niscaya racun berbisa dan sihir tidak akan memudlorotkannya.” ( Al Bukhari dengan Fathulbari)

Dan ketika telah terkena sihir, hendaknya:

1. Berupaya melenyapkan buhul/ikatan sihir tersebut -apabila diketahui tempatnya- dengan cara-cara yang tidak menyelisihi syari’at. Inilah cara yang paling manjur.

2. Di-ruqyah dengan cara yang disyari’atkan, seperti dimandikan dengan daun bidara yang telah dibacakan padanya ayat Kursi, Al A'raf 117-122, Yunus 79-82, Thaha 65-70.

3. Dibacakan surat Al Fatihah, ayat Kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah -ditiupkan serta dipegang pada tempat yang sakit-. (-dan masih banyak yang lainnya yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam)





No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...