Tanya:
Apakah hukum bertaqarrub (beribadah) dengan cara menyembelih sembelihan di sisi bangunan kuburan para wali yang shalih dan ucapan yang berbunyi, “Berkat hak wali-Mu yang shalih, si fulan, maka sembuhkanlah kami atau jauhkanlah kami dari kesulitan anu”?
Jawab:
Telah diketahui bersama berdasarkan dali-dalil dari Kitabullah dan as-Sunnah bahwa bertaqarrub dengan cara menyembelih untuk selain Allah, baik untuk para wali, jin, berhala-berhala atau para makhluk lain-nya adalah perbuatan syirik kepada Allah dan termasuk perbuatan orang-orang Jahiliyyah dan musyrikin. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163).
Yang dimaksud dengan ‘an-Nusuk’ (pada kalimat: Wa nusuki- penj.) di dalam ayat tersebut adalah ‘adz-Dzabhu’ (penyembelihan). Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah perbuatan syirik kepada-Nya sama halnya dengan shalat untuk selain Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorban-lah.” (Al-Kautsar: 1-2).
Dalam surat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi-Nya agar melakukan shalat untuk Rabb-nya dan menyembelih untuk-Nya. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ahli Syirik, yaitu bersujud kepada selain Allah dan menyembelih untuk selain-Nya.
Demikian pula dalam firman-firman-Nya yang lain, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyem-bah selain Dia.” (Al-Isra’: 23). “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5).
Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Jadi, menyembelih merupakan bentuk ibadah, karenanya wajib dilakukan dengan ikhlas, untuk Allah semata.
Di dalam shahih Muslim dari riwayat Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu , dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ.
“Allah melaknat siapa pun yang menyembelih untuk selain Allah.”( Shahih Muslim, kitab Al-Adhahi dari hadits Ali, no. 1978 )
Sedangkan ucapan seseorang, “Aku meminta kepada Allah melalui (dengan) hak para wali-Nya”, “melalui wajah para wali-Nya”, “melalui hak Nabi” atau “melalui wajah Nabi”; maka ini semua bukan kategori syirik tetapi bid’ah menurut Jumhur ulama, di samping merupakan salah satu sarana kesyirikan sebab berdoa adalah ibadah dan tata caranya bersifat tawqifiyyah.
Selain itu, tidak ada hadits yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi kita yang mengindikasikan bahwa bertawassul melalui hak, atau jah salah seorang dari makhluk adalah disyari’atkan atau dibolehkan sehingga tidak boleh bagi seorang Muslim menciptakan sendiri (meng-ada-adakan) suatu bentuk tawassul yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan firman-Nya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” (Asy-Syura: 21).
Juga, berdasarkan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang berbuat baru (mengada-ada) di dalam urusan kami ini (dien ini) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”( Muttafaq ‘Alaih; Shahih Al-Bukhari, kitab Ash-Shulhu, no. 2697; Shahih Muslim, kitab Al-Aqdhiyah, no. 1718 )
Dan dalam riwayat Muslim yang juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam shahihnya secara mu’allaq (hadits yang dibuang satu atau lebih dari mata rantai periwayatannya lalu disandarkan langsung kepada periwayat yang berada di atas mata rantai yang dibuang tersebut-penj.) akan tetapi diungkapkan dengan lafazh yang pasti (tegas), disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan/perbuatan (dalam dien ini) yang bukan berpijak kepada perintah kami, maka ia tertolak.”( Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Imam Al-Bukhari, kitab Al-Buyu’, bab An-Najasy dan dalam kitab Al-I’tisham, bab Idza ijtahada Al-‘Amil. Riwayat ini diriwayatkan secara maushul (bersambung) di dalam shahih Muslim, kitab Al-Aqdhiyah, no. 1718 )
Makna sabda beliau رَدٌّ ( Radd )adalah tertolak bagi pelakunya dan tidak diterima.
Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin untuk mengikat diri dengan syari’at Allah dan berhati-hati dari perbuatan yang diada-adakan oleh manusia alias bid’ah.
Sedangkan tawassul yang disyari’atkan adalah dengan cara berta-wassul melalui Asma’ dan Shifat-Nya, mentauhidkan-Nya dan amal-amal shalih yang di antaranya adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mencintai Allah dan Rasul-Nya dan amal-amal kebajikan dan kebaikan semisal itu. Dalil-dalil yang memperkuat hal itu banyak sekali, di antara-nya firman Allah Ta’ala,
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.” (Al-A’raf: 180). Di antaranya pula, sebagaimana doa yang didengar oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari seseorang yang mengucapkan,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ اْلأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu melalui per-saksianku bahwa Engkau adalah Allah, Tiada Tuhan yang haq untuk disembah selain Engkau, Yang Maha Tunggal Dan Tempat Bergantung, Yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, Yang tiada bagi-Nya seorang pun yang dapat menandingi.”
Lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِاْسِمِهِ اْلأَعْظَمِ الَّذِيْ إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ.
“Sungguh dia telah memohon kepada Allah melalui Nama-Nya yang Maha Agung, Yang bilamana dimohonkan melaluinya, pasti Dia akan memberi dan bila Dia dimintai (dengan berdoa) mela-luinya, pasti Dia akan mengabulkan.” (Abu Daud, kitab Ash-Shalah, no. 1493)
Di antara dalilnya yang lain adalah hadits tentang tiga orang yang terkurung di dalam gua lantas mereka bertawassul kepada Allah Ta’ala melalui amal-amal shalih mereka; orang pertama bertawassul kepada Allah melalui perbuatan birrul walidain (baktinya terhadap kedua orang tuanya). Orang kedua bertawassul kepada Allah melalui kesucian dirinya dari melakukan zina padahal sudah di depan matanya. Orang ketiga bertawassul kepada Allah melalui tindakannya mengembangkan (meng-investasikan) upah buruhnya (yang minggat), kemudian dia menyerahkan semua hasil investasi itu kepadanya (setelah dia datang lagi). Berkat perbuatan-perbuatan di atas, Allah menghindarkan mereka dari kesulitan tersebut, menerima doa mereka serta menjadikan batu besar yang menyum-bat mulut goa tersebut bergeser dan terbuka. Hadits tersebut disepakati keshahihannya (oleh Imam Bukhari dan Muslim-penj.). Wallahu waliyy at-Taufiq. (Kumpulan Fatwa dan Beragam Artikel Syaikh Ibnu Baz, Juz V, hal. 324-326. )
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...