Membongkar kesesatan dan kedustaan Ahmadiyah
Selusin butir penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) telah diterbitkan. Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem)-pun sudah mengamininya. Tapi, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin, menanggapinya bak bait lagu lama: Engkau masih seperti yang dulu.
Ibarat lagu lama yang diaransemen baru. Apa pun aransemennya, lagunya ya tetap yang itu-itu juga. ''Ahmadiyah belum kembali ke jalan yang benar,'' kata Ma'ruf Amin beberapa saat setelah rapat Bakorpakem di Kejaksaan Agung mengumumkan keputusannya untuk memberi kesempatan Ahmadiyah melaksanakan 12 butir penjelasannya. (simak dialog MetroTV : Ahmadiyah )
''Dipenuhi pengakuan palsu,'' ujar Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Adian Husaini. ''Jangan hanya lips service,'' kata Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah, Goodwill Zubair.
Di mana saja letak aransemen baru yang tak mengubah lagu lama tentang Ahmadiyah itu? Berikut hasil pembedahan MUI dan ormas-ormas Islam: Pertama, pada butir 1-3, PB JAI menyatakan warga jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimat syahadat seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW; meyakini Muhammad Rasulullah sebagai nabi penutup (khatamun nabiyyin); dan menyatakan ''di antara keyakinan kami bahwa Hadrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid ....''
Masalah seolah sudah selesai dengan menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai guru, mursyid. Tapi, masalahnya, sama sekali tidak ada klausul yang menegasikan kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad. Jadi, ''Rumusannya tidak mengunci,'' kata Ma'ruf Amin.
Beranikah Ahmadiyah menyatakan Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi dan rasul? Alih-alih memberi jawaban tegas, seorang elite JAI, A Mubarok Ahmad, yang dikonfirmasi Republika, kemarin, malah kembali bermain kata-kata. ''Itu adalah masalah keyakinan. Tak perlulah orang tahu,'' kilah mantan humas PB JAI itu.
DDII, dalam pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum, H Syuhada Bahri, dan Sekretaris Umum, H Abdul Wahab Alwi MA, menyatakan, ''Ungkapan 'di antara keyakinan kami' --bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad guru, mursyid, ...-- menunjukkan ada keyakinan lain dari Ahmadiyah yang tetap dijaga.''
Kedua, rumusan butir kelima yang menyatakan ''Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa: (a) Tidak ada wahyu syariat setelah Alquranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; (b) Alquran dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.''
Sepintas, rumusannya sudah clear. Namun, bila disimak lebih teliti, kata-kata tersebut bersayap. Makna pernyataan ''Tidak ada wahyu syariat sesudah Alquranul Karim ...'' menurut Ma'ruf Amin dan sejumlah tokoh, menandakan Ahmadiyah memercayai adanya wahyu nonsyariat! ''Jadi, kaum Ahmadiyah tetap mengakui bahwa setelah Nabi Muhammad SAW, tetap ada wahyu yang turun, meski itu bukan wahyu syariat,'' demikian penegasan DDII.
Rumusan khatamun nabiyyin di butir kedua, bertali-temali dengan rumusan di butir kelima. Konsekuensi 'pengakuan implisit' soal masih adanya wahyu nonsyariat yang turun, mensyarakat seorang pembawa. Dan dalam berbagai literatur Ahmadiyah, dinyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, rasul, al masih, al mahdi, dan macam-macam sebutan lainnya.
Mirza Ghulam Ahmad sendiri, bahkan menuliskan dalam bukunya yang berjudul Al Wasiyat --yang dikutip Badan Litbang Departemen Agama dari PB JAI-- sebagai berikut: ''Allah SWT akan mengumpulkan semua hamba-hambanya dalam agama yang satu. Inilah maksud Allah SWT yang untuk perwujudannya ini aku telah diutus ke dunia.''
Ketiga, rumusan di butir keenam yang menyatakan ''Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat.''
Terhadap pernyataan itu, DDII menilainya bertentangan dengan kenyataan. Sebab bahkan pada lembar awal Tadzkirah sendiri sudah tertulis begini: ''Tadzkirah ya'ni wahyu muqoddas (Tadzkirah adalah wahyu suci).'' Disusul kalimat-kalimat berikut: ''Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Tadzkirah) di dekat Qadiyan ....''
Periode turunnya wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad itu, menurut catatan seorang tokoh Ahmadiyah, Syafi R Batuah --yang dikutip Balitbang Depag dari JAI-- berlangsung sejak 1876 hingga 26 Mei 1908.
Dalam konferensi pers usai rapat Bakorpakem, Amir PB JAI, Abdul Basit, berharap 12 butir penjelasan tersebut akan menghilangkan kesalahpahaman dan stigma kepada warga JAI. Tapi, benarkah mereka disalahpahami, bila ajaran-ajaran Ahmadiyah yang beredar mulai dari markasnya di London sampai Indonesia mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul dan Tadzkirah sebagai kitab suci?
Dalam dialog di salah satu televisi, Ketua Bakorpakem Tim Advokasi Forum Umat Islam (FUI), Munarman, mengatakan kepada Ketua Bakorpakem, Whisnu Subroto, bahwa Ahmadiyah tetaplah Ahmadiyah. Ahmadiyah di Indonesia, sama dengan Ahmadiyah di tempat lain. ''Kan tidak mungkin Kejaksaan Agung berbeda dengan kejaksaan negeri,'' sindirnya.
Lalu, apa yang akan dipantau dan dievaluasi Bakorpakem dari pelaksanaan 12 butir penjelasan JAI jika rumusannya dibiarkan dipenuhi permainan kata-kata? Mengapa Bakorpakem membiarkan adanya rumusan 'masjid Ahmadiyah terbuka bagi umat Islam dari golongan manapun', yang bisa membuat umat Islam shalat berimamkan orang-orang yang telah dinyatakan ''sesat dan keluar dari Islam'' oleh fatwa ulama sedunia? Ada apa dengan Bakorpakem? ( hri/osa/run/RioL, swaramuslim.net )
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...