NU mempermasalahkan HTI sebagai gerakan transnasional sementara Syiah dibiarkan. Meski dinilai kemarahan sesaat, kalau tidak diredam akan menceraikan simpul ukhuwah.
Nama Rubrik Harokah di majalah Risalah NU edisi II/Th 1 ditulis berwarna merah. Judulnya terbilang gagah: "Road Show Ketua Umum PBNU: 20 Ribu Ranking Siap Hadang Ideologi Transnasional".
Tulisan itu menceritakan, sebuah pertemuan raksasa dan massif sedang bergulir. Bermula dari Jawa Timur, namun nanti akan mengalir ke seluruh pelosok Indonesia. Ada apa gerangan? Inilah sebuah hajat besar NU Untuk membentengi, memberi bekal kepada pengurusnya hingga ke tingkat ranting pedesaan untuk menghadang ideologi transnasional. Untuk Jawa Timur saja jumlah pengurus rantingnya mencapai 20 orang. Bagaimana kalau se-Indonesia?
”Juni ini masih di Jawa Timur, Juli nanti Jawa Tengah, berlanjut ke Jawa Barat, Banten. Luar Jawa mulai dari Lampung dan seluruh daratan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Pokoknya dari Sabang sampai Merauke,” ujar Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, sebagaimana dikutip majalah Risalah NU edisi II/Th I Jumadil Tsaniyah 1428 H.
Bagi NU Jatim sendiri, ini sebagai jawaban terhadap kegerahan karena melihat perkembangan ideologi transnasional. Pasalnya, gerakan tersebut diyakini dapat mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan berpotensi memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kegiatan yang diberi tajuk "Silaturrahim Ranting NU untuk memperkokoh Ukhuwah Islamiyah” tersebut akan diikuti sekitar 20 ribu orang pengurus ranting NU se-Jawa Timur. ”Untuk efektivitas koordinasi, agenda silaturrahim akan diselenggarakan dalam sembilan rayon yang meliputi 4-6 cabang,” ujar Wakil Ketua PWNU Jatim, Sholeh Hayat kepada Risalah NU.
Sikap arogan NU tampak ketika Gus Dur menjadi Presiden. Seorang kandidat PhD di Harvard University, Massachusset, Amerika Serikat, mengaku terkejut kepada Prof. Azyumardi Azra. Yang menjadi pangkal keterkejutan ilmuwan tersebut, menurut rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, adalah: NU kok tiba-tiba menjadi "radikal" saat melakukan pembelaan mati-matian terhadap Presiden Wahid. Persoalan radikalisme di tubuh Nahdliyin ini mengingatkan kita pada argumen Profesor Mitsuo Nakamura, Indonesianis emeritus asal Jepang, yang pertama kali mengemukakan teori tentang "tradisionalisme radikal" NU.
"Radikalisme" NU, menurut Nakamura, terutama terjadi pada masa Orde Baru, ketika NU misalnya pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid memutuskan untuk "kembali ke khittah 1926", dan menerima Asas Tunggal Pancasila sehingga menjadi salah satu organisasi Islam pertama yang melakukan hal ini. Tetapi jelas, menurut Azyumardi, "radikalisme" NU pada masa Presiden Soeharto sangat berbeda dengan "radikalisme" yang terlihat pada masa Presiden Wahid.
Seperti ditulis NU Online, sikap para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) atas gerakan penegakan Khilafah Islamiyah bukan tanpa alasan. NU telah belajar sejarah dan tidak gegabah meneriakkan penegakan khilafah secara membabi-buta di tengah masyarakat Islam Indonesia. Demikian disampaikan KH Miftachul Akhyar, Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur kepada NU Online di Surabaya, Selasa (14/8).
Selain itu, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, banyak ditemukan organisasi yang punya latar belakang Islam, tetapi sikapnya tidak islami. Itulah salah satu sebab yang melatarbelakangi KH Hasyim Asy’ari mendirikan NU.
“Siapa yang tidak ingin syariah Islam terlaksana dengan baik, semua ingin. Hanya saja cara mainnya yang cantik, tidak setengah matang gitu,” kata Kiai Miftah.
Dalam pandangan NU, kata pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Surabaya itu, penyumbang terbesar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah para ulama. Negara dijadikan sebagai lahan dakwah yang potensial. Kalau dasarnya diungkit-ungkit lagi kemudian sampai NKRI pecah menjadi negara-negara federal, akan semakin menyulitkan gerakan dakwah yang sudah dibangun para ulama itu.
Dalam konteks Indonesia, kata Kiai Miftah, model dakwah yang tepat adalah gaya Walisongo, yang membina masyarakatnya lebih dulu secara mantap. “Perlu kita ingat, umat kita ini masih umat dakwah, belum umat ijabah, ini yang harus dimengerti lebih dulu,” tegasnya.
Alumnus Pesantren Sidogiri, Pasuruan itu mengaku tidak alergi dengan gerakan penegakan khilafah yang diusung kelompok Hizbut Tahrir. Hanya saja jalan yang ditempuh dinilai terlalu frontal sehingga bisa dimungkinkan akan mendatangkan kemungkaran yang lebih besar.
“Sebab konsep sebaik apapun, kalau tidak dipersiapkan masyarakat dan instrumennya secara matang, akan gagal, malah yang tidak kita inginkan, bisa-bisa dinilai jadi mungkar,” kata Kiai Miftah menambahkan.
Tapi mengapa Syiah yang juga transnasional mendapat tempat? Said Agil Siradj dalam acara Peluncuran Buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? karya M. Quraish Shihab yang bertempat Sabtu (12/5) di Hotel Grand Kemang, Jakartaberpendapat ada tradisi Syiah yang masuk NU yang saat ini tidak bisa diganggu gugat. Yakni, kalau kiai meninggal, gantinya anaknya. Itu pengaruh Syiah itu. Bahkan pendapat Syiah ekstrim, yang mengatakan, kilat itu senyumnya Ali, petir itu suara bentakannya Ali, tersebar dongeng itu di mushalla-mushalla dan masyarakat. “Jadi walhasil NU itu Syiah, gitu lah udah! Minus imamah,” simpulnya
Benar bahwa pendapat Kang Said tidak mewakili NU, sementara menurut KH Sadid Jauhari, Wakil Katib Syuriah PBNU, Pengasuh Ponpes Assunniyah Kencong Jember ketika ditanya soal konferwil PWNU di Surabaya yang menyikapi konsep khilafah dan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang katanya merongrong kantong-kantong NU. Tapi ketika di lain pihak kantong-kantong NU direbut oleh Syiah kenapa penyikapannya berbeda. “Mungkin karena kalau masalah Syiah itu sudah cukup dikerahkan oleh orang-orang di bawah, walaupun tidak ada komando, sudah jalan sendiri,” kata KH Sadid Jauhari.
Bagi KH Ahzami Samiun Jazuli, sesama Muslim adalah bersaudara. Persaudaraan yang tulus, dasarnya harus iman. Bukan kepentingan, termasuk kepentingan politik ataupun kepentingan-kepentingan lainnya. “Jadi tidak ada alasan untuk melakukan pertentangan,” kata Kiai yang juga memimpin Yayasan Pendidikan Islam Darul Hikmah (YAPIDH) Bekasi.
Ishlah. Itulah jalan yang disarankan KH Ahzami. “Jangan sampai energi kita habis hanya berada dalam pertengkaran-pertengkaran seperti itu. Kemudian kita harus jadi orang yang cerdas. Jangan sampai diadu domba oleh musuh-musuh Islam."
Tidak memperbesar masalah itulah spirit yang ingin disampaikan KH Kholil Ridwan, Pimpinan Pesantren Al-Husnayain, Jakarta. Mengenai reaksi NU yang berlebihan sampai memfatwakan mati syahid bagi warganya bila bentrok dengan HTI menurutnya karena salah paham saja. “Itu kan statemen orang marah ya. Karena merasa diusik. HTInya tinggal mengklarifikasi sajalah,” kata KH Kholil.
Para kiai tentu saja tak perlu diceramahi tentang ishlah, bukan?
Eman Mulyatman
Laporan: Diyah Kusumawardhani, Faris Khoirul Anam
Copyright © 2007 Sabili.co.id. All rights reserved.
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...