8/31/2008

Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab

Cara Menentukan Awal Ramadhan

Berdasarkan petunjuk dari suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-, awal Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal secara langsung atau dengan kesaksian satu orang yang balig, berakal, muslim, dapat dipercaya dan mampu menjaga amanah yang melihat secara langsung. Apabila hilal ini tidak terlihat atau tidak ada kesaksian dari satu orang karena mendung atau tertutupi awan, maka bulan Sya’ban disempurnakan (digenapkan) menjadi 30 hari.

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, -pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari)

Menentukan Awal Ramadhan dengan Hisab

Para pembaca sekalian, perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab (menghitung posisi bulan yang merupakan bagian dari ilmu nujum) sebagaimana yang dilakukan oleh berbagai organisasi Islam saat ini. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melihat/mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenal ilmu hisab sama sekali. Dan perlu diketahui pula bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada ilmu hisab, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakannya. Ingatlah, petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –lah yang benar dan merupakan sebaik-baik petunjuk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsunya. Perkataan beliau adalah wahyu Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tiadalah yang Nabi ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu Allah yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm [53] : 3-4)

Perhatikan pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengaitkan hukum masuknya bulan ramadhan dengan hisab sama sekali sebagaimana beliau jelaskan dalam hadits di atas (yaitu ‘Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari). Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk bertanya pada ahli hisab (pakar ilmu nujum). Beliau memerintahkan kita -apabila tidak terlihat hilal- untuk menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Demikianlah bulan hijriyah, jumlah hari di dalamnya tidak mungkin lebih dari 30 hari dan tidak mungkin kurang dari 29 hari. Sehingga para ulama mengatakan bahwa yang lebih tepat dalam melihat hilal adalah dengan ru’yah dan bukan dengan hisab.

Para pembaca dapat melihat perkataan Al Baaji yang dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berikut ini. Beliau mengatakan, “(Menetapkan ramadhan dengan ru’yah) adalah kesepakatan para salaf (para sahabat) dan kesepakatan ini adalah hujjah/bantahan kepada mereka (yang menggunakan hisab).” Lihat pula perkataan Ibnu Bazizah dalam kitab yang sama, “Mazhab ini (yang menetapkan awal Ramadhan dengan hisab) adalah Mazhab batil dan syariat ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, -pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.”

Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal

Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban harus disempurnakan menjadi 30 hari. Dan pada hari tersebut tidak diperbolehkan berpuasa berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)

Hadits ini menunjukkan bahwa mendahulukan puasa pada satu hari sebelum Ramadhan dalam rangka kehati-hatian yaitu takut kalau pada hari yang meragukan ini ternyata sudah masuk Ramadhan adalah haram. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi ancaman bagi orang-orang yang berlebih-lebihan seperti ini dalam sabda beliau,

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ

Binasalah orang yang berlebih-lebihan.” (HR. Muslim)

Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

Namun jika pada hari yang meragukan ini pemerintah memerintahkan untuk berpuasa, maka kaum muslimin diharuskan untuk berpuasa mengikuti pemerintah mereka sebagaimana penjelasan berikut ini.

Ikutilah Pemerintah dalam Memulai Puasa Ramadhan atau Berhari Raya

Jika melihat mudahnya dan dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin, maka cara terbaik dalam menentukan awal Ramadhan adalah dengan mengikuti keputusan pemerintah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تَضَحُّوْنَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib). Lalu Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian para ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maksud hadits ini adalah puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)’“. (Lihat Tamamul Minnah, I/399, Al Maktabah Al Islamiyyah)

Semoga kita mendapatkan petunjuk untuk bersegera melakukan ketaatan kepada Allah yang telah memberikan berbagai limpahan nikmat kepada kita. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar



No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...