11/21/2008

KIAT-KIAT PENULIS MUSLIM DALAM MENAMBAH WAWASAN

Ide penulisan buku pada umumnya berasal dari pertanyaan-pertanyaan orang, atau masalah-masalah yang saya jumpai pada orang.

HASIL PENELITIAN yang dilakukan pada 10 penulis Muslim Indonesia menunjukkan bahwa cara untuk memperoleh ide dilakukan penulis Muslim dengan berbagai cara. Cara-cara yang mereka pakai dapat kita tiru dan kembangkan sesuai dengan keadaan kita. Pertama, menekuni suatu topik dengan cara sengaja menambah wawasan tentang hal yang diminati (dengan membaca dan berdiskusi dengan teman sejawat, mahasiswa, istri, anak, dan dengan seseorang yang berseberangan pemikiran atau keberpihakan). Kedua, menekuni suatu topik dengan mengamati realitas dan terlibat secara langsung (termasuk memperoleh ide dari klien). Ketiga, menyelingi aktivitas menulis dengan aktivitas lain yang santai dan dapat dinikmati (menyapu, berkebun, jalan-jalan ke tempat wisata). Keempat, mengintensifkan perilaku ibadah seperti shalat malam dan berdzikir.

Kelima, berpikiran dan berperilaku bersih, seperti tidak pamer, tidak sombong, tidak ambisius, dan sebagainya (secara moral).

Bab ini secara khusus akan menerangkan bahwa cara pertama yang dilakukan penulis Muslim menekuni suatu topik dilakukan dengan cara sengaja menambah wawasan tentang hal yang diminati. Penulis muslim melakukannya dengan membaca dan berdiskusi dengan teman sejawat, mahasiswa, istri, anak, dan bahkan dengan seseorang yang berseberangan pemikiran atau keberpihakan.

Upaya Pertama: Membaca buku atau majalah

Buku, majalah, atau bahan bacaan lain adalah sumber informasi untuk memahami suatu permasalahan secara komprehensif dan detail. Penulis Muslim kreatif menjadikan buku atau majalah sebagai sumber informasi utama. Mereka berupaya untuk memahami bacaan tersebut secara kritis. Di samping itu, bacaan dapat menjadi informasi pemicu di mana dengan informasi itu mereka mengembangkan tulisan dengan melakukan elaborasi lebih lanjut. Inilah beberapa ungkapan yang disampaikan penulis Muslim.

Achmad Mubarok, penulis berbagai buku psikologi dakwah dan psikologi Islami, mengungkapkan bahwa ia membaca buku dengan maksud untuk melacak isi buku. Lebih lanjut Mubarokbertutur, "Biasanya saya menulis bermula dari mendengar atau membaca suatu gagasan. Saya kemudian berusaha melacak sumber gagasan itu di berbagai buku. Dari sumber-sumber itu temyata ada celah yang belum dikatakan, atau ada kesimpulan yang menurut saya tidak tepat. Hal itulah yang merangsang saya menulis, bukan mengomentari atau mereaksi tetapi tampil sendiri dengan gagasan yang seakan saya belum mendengar gagasan oranglain. Gagasan kecerdasan emosional-spiritual versi Ary Ginanjar Agustian misalnya, hal itu sangat menggelitik karena sebenarnya analisis Ary itu dangkal tetapi ia sangatpandai menyajikan dengan bantuan teknologi Power Point. Dari situlah inspirasi muncul untuk mengembangkan topik tersebut."

Sementara itu, Muhammad, penulis yang banyak menghasilkan buku-buku ekonomi Islam, mengungkapkan bahwa kebutuhan untuk membaca buku sebenarnya kebutuhan dasar bagi setiap penulis. Lebih-lebih jika mengalami situasi di mana ide seret datangnya. Muhammad bertutur, "... jika mengalami keseretan ide, biasanya saya membaca buku yang relevan dengan topik yang saya kembangkan."

Seorang penulis cerpen dan novel yang produktif, Achmad Munif, menuturkan bahwa membuka-buka buku di toko buku dapat menjadi stimulasi bagi hadirnya suasana hati positif. Dengan suasana hati yang baik itu ia menjadi bergairah menulis. Munif bertutur, "Mood (suasana hati) harus diciptakan sendiri. Kalau saya sedang malas, saya pergi ke toko buku, Ya biasanya cuma buka-buka buku saja, terus mood datang. Biasanya saya ke Gramedia. Tbhu judul buku orang lain saja, bisa mendatangkan mood." Munif juga menyampaikan bahwa bacaan yang dikonsumsinya dari suatu majalah dapat menginspirasinya untuk menulis. "Saya menulis novel Merpati Biru. Ide saya original. Ide itu munculketika saya membaca laporan sebuah majalah yang mengungkap ada mahasiswi yang nyambijadi ayam kampus."

Abdul Mujib, penulis berbagai buku psikologi Islami, menunjukkan bahwa buku kamus sangat membantu untuk memahami dasar-dasar ilmu. la sendiri memiliki latar belakang pendidikan sarjana hingga doktor dalam bidang pemikiran Islam. Aktivitas menulis yang bertema psikologi Islami mengharuskannya mengenal berbagai istilah psikologi. "Membaca kamus (dalam halinikamus psikologi), karena kamus merupakan kunci suatu disiplin ilmu sambil melihat fakta aktual." Secara khusus Mujib menerangkan bahwa bila ada buku-buku baru, ia berupaya membacanya. la berupaya untuk mengelaborasinya sesuai dengan cara berpikirnya. "... (saya) membaca buku terbara untuk kemudian dielaborasi sesuai dengan frame pemikiran saya."

Belajar secara mandiri yang dilakukan dengan membaca kadang-kadang tidak memuaskan Abdul Mujib. la berupaya mendiskusikannya dengan teman-temannya. Lebih khusus Mujib menuturkan: "Untuk memahami secara mendalam, saya pada mulanya hanya belajar satu buku, dan secara otodidak saya pahami sampai benar-benar saya mengerti. Kalau saya tidak mengerti, saya tanya teman yang mengerti hal itu; meskipun jawabannya biasanya tidak memuaskan, sebab problem yang saya tanyakan memang sulit untuk dijawab oleh orang yang tidak biasa berpikir spekulatif-Islam. Sedangkan elaborasinya saya baru baca buku-buku sejenisnya untukmemperluas (pengetahuan saya)."

Bagaimana dengan Cahyadi Takariawan yang banyak menulis buku dakwah berkonteks rumah tangga? la bertutur, "Banyak membaca, banyak bekerja. Saya senantiasa membaca buku di waktu senggang saya ketika sedang meiigadakan perjalanan dakwah atau aktivitas dakwah lainnya."

Guru besar ilmu psikologi, Djamaludin Ancok mengatakan bahwa ia selalu memelihara dirinya untuk selalu membaca. Ketika harus menuliskannya, bacaan itu menjadi bahan yang berharga untuk dirangkai dengan ilmu yang telah dimiliki sebelumnya. Penulis beberapa buku psikologi sosial dan psikologi Islami ini bertutur, "... membaca tulisan oranglain yang saya kagumi, dan coba merangkainya dengan ilmu yang saya miliki."

Seorang penulis novel yang namanya begitu menjulang di kalangan remaja Muslim Indonesia, Helvy Tiana Rosa, berkata bahwa membaca merupakan salah satu agenda wajib bagi tulisan yang menyentuh qalbu. la bertutur, "Sederhana, banyak membaca, banyak mengamati, merasaperlu memberi respon atas berbagai peristiwa yang menyentuh nurani melalui tulisan."

Upaya Kedua: Memperoleh ide karena ada pertanyaan dari orang lain

Wawasan penulis Muslim tentang berbagai persoalan diperoleh melalui interaksi atau dialog dengan masyarakat awam. Masyarakat awam adalah pelaku kehidupan. Mereka mengalami berbagai hal. Saat mereka mengungkapkan berbagai macam kesulitan yang dihadapinya, banyak muncul pertanyaan menggelitik yang mereka sampaikan kepada penulis Muslim. Pertanyaan-pertanyaan itu penulis Muslim peroleh saat berceramah, kuliah, melalui email pribadi, atau melalui forum lain.

Achmad Mubarok mengungkapkan bahwa pertanyaan dari majelis taklim dan kuliah sangatlah menggelitik. Selengkapnya Mubarok bertutur, "Ide penulisan pada umumnya lahir dari hasil diskusi atau memperoleh pertanyanan dari kuliah dan juga dari majlis taklim metropolitan. Pengalaman dan kasus-kasus jamaah sangat menarik untuk ditulis dan didudukkan dalam kerangka fikir dakwah."

Muhammad Fauzil Adhim mengungkapkan bahwa pertanyaan dan masalah yang dijumpainya pada orang-orang memberinya inspirasi untuk menulis. Fauzil bertutur, "Ide penulisan buku pada umumnya berasal dari pertanyaan-pertanyaan orang, atau masalah-masalah yang saya jumpai pada orang."

Senada dengan Mubarok dan Fauzil, Cahyadi Takariawan mengungkapkan banyaknya permasalahan dakwah yang memberinya ide untuk menulis. Cahyadi bertutur, "Ada kasus atau permasalahan lapangan dalam pergerakan dakwah. Contohnya, buku Pernik-Pernik Rumah Tangga Islami muncul dari permasalahan yang banyak dihinggapi oleh aktivis pergerakan, tatkala mereka mengontrak rumah, mendapatkan bangunan yang tidak memperhatikan hijab syar'i."

Upaya Ketiga: Berdiskusi dengan Teman Sejawat

Teman sejawat, bagi sebagian besar orang, termasuk penulis muslim, adalah orang-orang yang sangat akrab. Keakraban memudahkan munculnya berbagai pemikiran, tanggapan, kritik yang spontan. Teman sejawat umumnya adalah orang yang seprofesi dengan penulis Muslim (sesama penulis, sesama dosen, termasuk teman dekat).

Tentang pentingnya teman sejawat sebagai kawan diskusi, para penulis sepakat tentang hal itu. Djamaludin Ancok mengungkapkan bahwa ia punya sejumlah mitra diskusi. Ancok bertutur, 'Ada, dan saya punya banyakkawan diskusi."

Senada dengan Ancok, Abdul Mujib juga mengungkapkan pentingnya diskusi dengan teman sejawat. Mujib bertutur, "Jelas, teman diskusi itu penting, baik sebagai lawan (beda ide) maupun kawan (satu ide), dan teman yang dimaksud tidak harus berhadapan tetapi bisa melalui baca bukunya."

Achmad Mubarok mengungkapkan bahwa diskusi dengan teman dilakukan dalam setiap kesempatan yang diperoleh. Mubarok bertutur, "Ada teman diskusi, yakni rekan dosen dan teman akrab. Diskusi itu berlangsung setiap saat ada peluang, di mobil, di ruang tunggu, di restoran dan di telpon. Dan di mana saja."

Sementara itu M. Fauzil Adhim mengungkapkan bahwa berdiskusi dengan teman sejawat memproses hal yang sebelumnya tampak sepele menjadi disadari arti pentingnya. Fauzil bertutur, "Ada hal-halyang tampaknya sangat sepele, agak saya abaikan dan tidak saya anggap penting, tetapi karena ada teman diskusi, saya mendapatkan pencerahan bahwa yang sepele itu sesungguhnya sangat penting dan bahkan dianggap sebagai keunggulan tulisan saya."

Yusdani, penulis beberapa buku hukum Islam, menandaskan bahwa peran dari diskusi dengan teman adalah memunculkan rangsangan untuk menulis. Yusdani bertutur, "Ya, ngobrol memang harus ada manfaatnya, semacam ada rangsangan untuk menulis buku, tapi tindak lanjutnya saya tidak di situ, tapi membutuhkan proses."

Sementara Abdul Mujib mengatakan bahwa kalau tidak mengerti atau kurang mengerti suatu permasalahan, ia mendiskusikannya dengan teman memang sekalipun kadang tak memuaskannya. la bertutur, "Kalau saya tidak mengerti dari buku, saya tanya teman yang mengerti hal itu, meskipun jawabannya biasanya tidak memuaskan, sebab problem yang saya tanyakan memang sulit untuk dijawab oleh orang yang tidak biasa berpikir spekulatif-Islam."

Agak berbeda dengan yang lain, Muhammad mengungkapkan bahwa hanya sebagian saja gagasan berkembang dari diskusi. labertutur, "Tentangdiskusi dengan teman sejawatmemang ada, tapi tidaksecara khusus atau tidak dominan. Gagasan memang kadang terstimulasi dari oranglain, namun itu tidak

banyak."

Cahyadi Takariawan memandang bahwa teman diskusi penting untuk menuangkan ide ke dalam judul, tapi bukan memunculkan ide. la bertutur, "(Teman diskusi) tidak terlalu penting dalam menghasilkan ide. Teman diskusi bagi saya penting untuk menuangkan ide ke dalam buku, membuat judul buku, membuat sistematika buku, dll. Tapi bukan untuk memunculkan ide.".

Upaya Keempat: Berdiskusi dengan Keluarga

Anggota keluarga, istri/suami, anak-anak, dan orangtua adalah orang-orang yang sering dijadikan penulis Muslim sebagai mitra untuk menilai kelayakan tulisannya. Terutama pada penulis fiksi, kebutuhan akan tanggapan keluarga ini terasa sangat

penting.

Achmad Munif mengungkapkan bahwa istri dan anaknya banyak memberi tanggapan atas tulisan-tulisannya. Secara lengkap, Munif bertutur, "Saya juga mendiskusikan ide saya kepada istri dan

anak saya. Saya cerita kepada anak atau istri saya, saya ingin menulis cerita ini Iho. Begini-begitu ceritanya, kira-kira kalau begini-begitu cocoknggak buat anak muda? Kadang anak saya menjawab nggak pak. “Begini Iho yang bogus, konco-koncoku kalau cerita tidak seperti ini tapi begini.' Dia (anak) kanlebih tahu. Kalau jelekmereka bilangjelek. Elek pakiki, gakpas (Jawa, jelek Pak ini, tidak pas). Istri dan anak saya bukan saja sumber semangat, Tapi sering memberi mcsukan. Ini ora ngene (Jawa, bukan begitu mestinya). Misalnya cerpen saya yang berjudul Lipstik. Saya menanyakan kepada istri saya wama lipstikitu apa saja. Lipstik untuk orang kulithitam, apa yang pas?"

Lebih lanjut Achmad Munif yang kelahiran Jombang ini bertutur, "Istri saya akan betul-betul mengungkapkan secara terang-terangan. Misalnya saya buat Sang Penindas, istri saya komentar mesti ora (Jawa, tidak) laku, sebab mengahapalkan nama-namanya susah. Kan pakai nama-nama Amerika Latin."

Sementara Abdul Mujib menuturkan bahwa ia suka mendatangi orang yang mengerti suatu buku untuk dimintai pendapatnya. Lebih khusus, Mujib bertutur, "Kalau saya tidak mengerti dari buku, saya tanya teman yang mengerti hal itu, meskipun jawabannya biasanya tidak memuaskan, sebab problem yang saya tanyakan memang sulit untuk dijawab oleh orang yang tidak biasa berpikir spekulatif-Islam."

Pembicaraan isi buku yang ditulisnya dilakukan lip Wijayanto melalui diskusi dengan sang ayah, orang yang dipercayainya lebih tahu tentang seluk-beluk kehidupan ketimbang dirinya. "Ada kritik dari ayah saya.”

Upaya kelima: Berdiskusi dengan Orang yang Lebih Ahli

Ada kalanya penulis Muslim merasa kesulitan untuk memahami suatu persoalan secara mandiri. Mereka mendatangi orang-orang yang ahli di bidang-bidang yang mereka geluti. Orang yang ahli di bidangnya adalah orang yang tahu perkembangan mutakhir suatu ilmu atau teknologi. Jawaban yang diterima penulis Muslim dari ahli tadi akan menjadi landasan bagi mereka untuk merumuskan pemikiran yang lebih maju.

Yusdani mengungkapkan bahwa orang yang lebih ahli dapat dimintai pendapatnya tentang topik yang ditulisnya. Lebih jauh, Yusdani bertutur, "Kalau saya mengalami kebuntuan, mentok, kemudian berupaya, masih mentokjuga, susah saya. Saya pergi ke tempat orang yang ahli, yang saya anggap lebih tahu. Misalnya ketika menulis tentang metodologi UshulFiqh saya tanya kepadapakAkhmadMinhaji (Profesor Doktor di UINSunan Kalijaga Yogya) yang saya kira lebih paham, karena sepengetahuan saya dia mengutip dari buku yang sama. Maksudnya, buku metodologi adalah terjemahan, jadi pak Minhaji pernah mengutip buku aslinya. Akhirnya saya mendapat saran dari pak Minhaji. Biasanya saya nanya, apakah seperti ini, pak Minhaji menjawab iya benar itu."

Upaya Keenam: Berdiskusi dengan orang yang berseberangan pendapat

Untuk menguji apakah pemikirannya baik atau tidak, penulis Muslim berupaya untuk mengadakan diskusi dengan orang-orang yang dapat mengeluarkan ide yang berseberangan. Orang-orang yang berseberangan pendapat ini bisa merupakan teman, mahasiswa, atau yang lain. Pemikiran yang berseberangan bisa menghidupkan gagasan yang dimiliki penulis Muslim.

Abdul Mujib menuturkan bahwa ia mempersilakan orang lain untuk mengeritik gagasannya. Lebih khusus, Mujib bertutur, "Saya menyuruh orang, termasuk mahasiswa, untuk mengeritik gagasan atau ide saya, saya diam dan tidak melakukanpembelaan sedikitpun, meskipun halitu 'menjatuhkan' saya. Sampai di rumah saya Renungkan kritikan itu, lalu saya mencoba 'membela' pemikiran saya sendiri dan atau mengkritisi pemikiran orang lain itu. Saat itulah saya mendapatkan ide yang banyak."

Selain itu, Mujib juga membantah bahkan sengaja 'mengejek' pemikiran orang lain. Dengan cara ini orang yang diejek tadi akan mengeluarkan argumen-argumen terbaik yang dimilikinya. Mujib bertutur, "Saya sering berdiskusi, baik dengan mahasiswa maupun teman dosen, lalu saya tanya atau bantah dengan nada 'mengejek'pemikirannya, yang karenanya mereka mengeluarkan ide-ide terbaiknya. Saat itulah saya memperoleh ide-ide baru."

Pembahasan: Tentang Membaca dan Diskusi

Syarat utama untuk melakukan proses kreatif adalah memahami masalah secara mendalam. Cara yang ditempuh oleh penults Muslim adalah dengan menambah wawasan tentang hal yang diminati. Penambahan wawasan ini secara garis besar dikelompokkan menjadi dua, yaitu penambahan wawasan secara mandiri, di antaranya adalah membaca, terutama buku, majalah atau bacaan yang lain. Penambahan wawasan dapat juga dilakukan dengan bermitra. Dalam hal ini mereka menambah wawasan melalui diskusi dengan teman sejawat, keluarga, ahli, dan juga dengan orang-orang yang berseberangan pendapat.

Penambahan wawasan secara mandiri sudah biasa dilakukan oleh para ahli dari berbagai macam zaman. Aktivitas mendiskusikan pemikiran ini juga sudah menjadi kebiasaan pemikir zaman dulu. Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak pemikir Yunani sudah melakukannya. Pada zaman nabi-nabi dulu, aktivitas berdiskusi untuk memecahkan masalah juga menjadi aktivitas yang dianggap penting. Nabi Musa suka mendiskusikan problem dakwah dengan Nabi Dawud. Nabi Muhammad suka berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya, baik untuk membahas masalah ibadah, perang, bahkan masalah mimpi. Penulis-penulis Indonesia zaman dulu maupun masa kini juga menjadikan aktivitas berdiskusi atau yang sejenis sebagai aktivitas penting mereka.

Penulis-penulis Indonesia pada awal kemerdekaan Indonesia seperti A.A. Navis menunjukkan kegemarannya membaca (Pamusuk Eneste, 1990). Berikut ini cuplikan cerita Navis yang terkenal dengan cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami. "Sejak di sekolah rendah saya sudah gemar membaca. Pada masa itu arus penerbitan buku saku (dulu disebut roman picisan) sangat melimpah. Mungkin sama dengan keadaan sekarang. Keadaan membantu saya untuk memuaskan kegemaran itu. Soya bersekolah di Kayutanam, dan bertempat tinggal di Padang Panjang. Dan dua kali sehari saya naik kereta api, yang lama perjalanannya masing-masing memakan waktu satujam. Antarajarak waktu keluar sekolah dengan keberangkatan kereta api yang akan saya tumpangi ke Padangpanjang, ada kalanya berjam-jam pula. Waktu-waktu senggang demikian memberi kesempatan buat saya untuk membaca. Membaca apa saja yang dapat saya baca. Koran, majalah atau berbagai jenis buku. Bacaan yang saya peroleh karena dipinjam, dibeli atau disewa."

Lebih lanjut Navis bertutur: "Kebetulan juga di Padangpanjang ada kerabat saya yang mempunyai kios yang menyewakan buku-buku cerita, seperti halnya kios buku yang menyewakan cerita komik. Maka saya dapat meminjamnya dengan cuma-cuma. Buku saku itu saya baca di kereta api, saat berangkat ke sekolah atau pulang dari sekolah. Di samping itu, ayah saya senangmelihat saya gemar membaca. Saya sering diberi uang untuk membeli buku dan juga berlangganan majalah."

Penulis yang menulis pada akhir abad 20 dan awal abad 21 juga menunjukkan aktivitas membaca sebagai aktivitas harian. Kita dengar penuturan penulis muda yang populer, Asma Nadia (Salman Faridi, 2003). "Waktu kecil, terutama Mami saya menyediakan kami, anak-anaknya berbagai bacaan, banyaksekali, sampai-sampai saya dan kakaksempat bikin taman bacaan, biar punya modal beli buku baru lagi. Tbh ketika beranjakremaja, saya dan kakak mulai punya minat sendiri-sendiri terhadap buku."

Asma Nadia juga bertutur, "Kakak saya usia SD dan SMPsudah melahap berbagai jenis buku sastra, saya malah asyik dengan buku-buku Enid Blyton, Agatha Christie, Alfred Hitchock, dan yang nggak bisa sayalupain, dari pengarang Indonesia, Serial Balada Si Roy, yang dimuat bersambung di satu media karya Gola Gong, dan yang paling sering saya belibukunya, Lupus-nya Hilman!"

Lebih lanjut, Asma Nadia bertutur, "Dan meski nggak disadari, akhirnya saya sebetulnya banyak belajar dari buku-buku yang saya baca. Mungkin banyaknya buku popular dan remaja, saya jadi terbiasa dengan bahasa remaja, yang sederhana, ringan, lincah, komunikatif, dan gaul."

Kebiasaan membaca ini begitu mendarah daging dalam diri mereka, sehingga ketika ada keinginan mendalami suatu persoalan mereka meletakkan aktivitas membaca ini sebagai aktivitas penting. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh penulis Muslim Indonesia. Salah seorang di antara, yaitu Abdul Mujib, bertutur, "Untuk memahami secara mendalam, saya pada mulanya hanya belajar satu buku, dan secara otodidak saya pahami sampai benar-benar saya mengerti. Kalau saya tidakmengerti, saya tanya teman yang mengerti hal itu, meskipun jawabannya biasanya tidak memuaskan, sebab problem yang saya tanyakan memang sulit untuk dijawab oleh orang yang tidak biasa berpikir spekulatif-lslam. Sedangkan elaborasinya saya bam baca buku-buku sejenisnya untuk memperluas (pengetahuan saya)."

Sekalipun demikian, seseorang juga tetap memerlukan pendalaman suatu aktivitas penambahan wawasan dengan bermitra atau bekerja sama dengan orang lain. Penulis buku-buku rumah tangga yang laris manis, Mohammad Fauzil Adhim, bertutur: "Ada hal-hal yang tampaknya sangat sepele, agak saya abaikan dan tidak saya anggap penting, tetapi karena ada teman diskusi, saya mendapatkan pencerahan bahwa yang sepele itu sesungguhnya sangat penting dan bahkan dianggap sebagai keunggulan tulisan saya."

Aktivitas menambah wawasan dan pendalaman ide secara bermitra ini paling menantang saat dilakukan dengan sengaja membenturkan opini kita dengan opini orang lain. Di dunia ini, bisa kita temukan seseorang yang mudah menerima ide kita. Ada pula yang sebaliknya, yaitu seseorang yang hampir selalu menolak. Boleh jadi itu memang ciri khasnya, yaitu selalu berkata tidak dulu, urusan lain belakangan. Terlepas dari tipe-tipe kepribadian di atas, umumnya manusia berupaya mempertahankan pendapatnya bila mendapat serangan dari orang lain. Oleh karena itu ketika kita mempertanyakan, mengeritik, atau menolak pendapat orang tersebut, ia akan mengeluarkan argumentasi-argumentasinya, walau ada pula orang yang patah arang. Salah seorang penulis yang menggunakan teknik ini adalah Abdul Mujib. Ahli pemikiran Islam dengan spesialisasi bidang psikologi ini bertutur, "Saya sering berdiskusi, baik dengan mahasiswa maupun teman dosen, lalu saya tanya atau bantah dengan nada 'mengejek'pemikirannya, yang karenanya mereka mengeluarkan ide-ide terbaiknya. Saat itulah saya memperoleh ide-ide baru."

Manfaat dari teknik ini adalah munculnya sudut pandang yang berbeda. Seseorang yang berseberangan dengan kita akan mengungkapkan suatu pandangan yang boleh jadi tidak kita sangka. Adanya sudut pandang yang berbeda ini, bila kita manfaatkan, akan menjadikan tulisan kita lebih kaya sudut pandang.

Hal lain yang patut untuk mendapat catatan adalah mendiskusikan ide atau tulisan dengan orang dekat, yaitu keluarga dan teman sejawat.





No comments:

Post a Comment

Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...