Para ulama sepakat membolehkan mengambil upah dari mengobati dengan cara ruqyah syar’iyah. Bahkan dalam hadits terkenal tentang para sahabat yang meruqyah kepala suku yang terkena bisa ular, Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “ Saya tidak bersedia meruqyah sampai kalian memberiku upah”. Sehingga dalam kitab shahih Al-Bukhari, salah satunya memasukkan hadits ini dalam bab al-ijarah. Dalam ujung hadits Abu Said Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Bagilah (upah itu), dan masukan aku dalam satu bagian."
Sedangkan terkait dengan menjadikan pengobatan ruqyah sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama dengan mengambil upah dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan secara ruqyah membutuhkan waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para peruqyah dituntut untuk senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ketaqwaannya.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah yang berjudul liqo-al ahibbah memfatwakan bolehnya tafarrugh (membuka ruqyah center) dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan karena terkait dengan maslahat syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan sarana komersial atau bisnis murni, demikian halnya dengan penyelenggaraan janaiz, khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan Al-Qur’an, bimbingan haji dll.
Sedangkan fatwa ulama yang tidak memperbolehkan ruqyah sebagai profesi utama adalah :
Syaikh Shalih Al fauzan pernah ditanya, "Apa pendapat Syaikh tentang orang yang membuka praktek pengobatan dengan bacaan ruqyah ?."
Beliau menjawab, "Ini tidak boleh dilakukan karena ia membuka pintu fitnah, membuka pintu usaha bagi yang berusaha melakukan tipu muslihat. Ini bukanlah perbuatan As-Salafush Shalih bahwa mereka membuka rumah atau membuka tempat-tempat untuk tempat praktek. Melebarkan sayap dalam hal ini akan menimbulkan kejahatan, kerusakan masuk di dalamnya dan ikut serta di dalamnya orang yang tidak baik. Karena manusia berlari di belakang sifat tamak, ingin menarik hati manusia kepada mereka, kendati dengan melakukan hal yang diharamkan. Dan tidak boleh dikatakan,"Ini adalah orang shalih." Karena manusia mendapat fitnah, semoga allah memberi perlindungan. Walaupun dia orang shalih maka membuka pintu ini tetap tidak boleh."
Banyak manusia berkenyakinan tentang kekhususan tertentu yang dimiliki oleh orang yang telah melakukan ruqyah (raaqi), sehingga mereka mempunyai anggapan (bersikap ghuluw/berlebihan) terhadap raaqi tentang apa-apa yang dibaca ketika sedang meruqyah. Aslinya dalam syariat Islam adalah saddu dzari`ah (mencegah bahaya) karena pekerjaan ruqyah ini kadang-kadang membuka pintu kejahatan dan kesesatan bagi ahli Islam. Cara-cara seperti ini (mengambil ruqyah sebagai profesi) tidak pernah ada (dasarnya) dari Nabi saw. dan tidak pula dikerjakan oleh satupun dari sahabatnya, serta tidak pernah dikerjakan salah seorang dari ahli ilmu dan ahli kemuliaan, walaupun mereka ada keperluan. Pada dasarnya kita harus mengikuti dan mencontoh mereka (Nabi, para sahabatnya, ahli ilmu, dan ahli kemuliaan).
Pada dasarnya bila seseorang menjadikan ruqyah sebagai profesi, ia akan disibukkan oleh urusan ini dan meninggalkan urusan-urusannya yang lain. Terkecuali bila seseorang tadi mempunyai pekerjaan dan tidak menjadikan ruqyah sebagai profesinya serta tidak membuka praktek, maka hal itu boleh-boleh saja. Dan dia hanya melanyani masyarakat yang membutuhkan bantuannya untuk diruqyah karena diganggu setan. Dia niatkan ruqyahnya untuk tolong menolong dalam kebaikan, amar ma`ruf nahi munkar, memerangi setan dan jin yang mengganggu manusia dan mengharapkan ridha Allah semata. Dia tidak mengharapkan upah dari manusia dan tidak menetapkan tarif besar kecilnya dari manusia. Bila di tengah-tengah ia meruqyah ada yang ikut (maksudnya adalah diberi upah), maka bila ia memerlukan boleh diambil. Dan bila ia tidak memerlukannya karena sudah merasa cukup, maka boleh tidak diambil sebagai sikap zuhud pada apa yang ada ditangan manusia. Karena pada dasarnya ia hanya mengharapkan ridha Allah dan wajah-Nya serta menolong manusia yang membutuhkan bantuannya. Melakukan ruqyah dengan niat seperti ini adalah dibolehkan dan disyariatkan .
Adapun bila ia melakukan ruqyah hanya dipakai sebagai profesi saja, membuka praktek, dan memasang tarif yang tinggi serta tidak ada unsur untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Maka meruqyah dengan niat seperti ini, jelas bertentangan dengan syariat. Wallahu A`lam Bish Shawab.
Maraji'
Fatwa - fatwa terkini Jilid 3, Darul Haq, Jakarta, Cetakan Pertama,
September 2004, hal. 161-163
Dari fatwa Syaikh Fauzan ini kesimpulannya:
* Tidak boleh membuka pengobatan ruqyah jika hanya mengkhususkan ruqyah/ menjampi saja tidak ada metode pengobatan lainnya.
* Ruqyah dilarang juga bila membuka klinik ruqyah hanya dipakai sebagai profesi utama saja tidak ada profesi yang lain. Dengan khusus membuka praktek, dan memasang tarif yang tinggi serta tidak ada unsur untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongannya biasanya dilakukan oleh para peruqyah syirkiyyah alias dukun atau paranormal.
* Adapun para peruqyah syar'iyyah tidak menjadikannya sebagai profesi utama, tidak memasang tarif bahkan gratis, jika membuka Klinik ruqyah center tidak hanya pengobatan ruqyah melainkan pengobatan alamiyah (athibun nabawiyah) yang memang memerlukan klinik/tempat khusus (yang diperbolehkan syaikh bin Baas) sebagaimana dokter mengobati pasiennya. Inilah titik temu antara Fatwa Syaikh fauzan dengan fatwa Syaikh bin Baas dan Syaikh Utsaimin.
Wallaahualam.
No comments:
Post a Comment
Setelah membaca artikel, diharapkan kepada para pembaca untuk menuliskan kesan/komentarnya. Terimakasih...